DPR belum dapat memastikan apakah menggunakan kodifikasi, kompilasi atau bertahap. Soalnya, mesti melihat naskah akademik dari pemerintah.
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) semestinya dilakukan secara bertahap. Hal itu dikarenakan banyaknya jumlah pasal dalam RKUHP. DPR dianggap tak mampu merombak KUHP secara total, sekali pun dalam waktu satu periode. Sementara Belanda membutuhkan satu abad dalam menyusun hukum pidana. Hal ini disampaikan Ketua Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (24/2).
“Menurut saya Belanda butuh satu abad menyelesaikan KUHP mereka, sekarang mereka merevisi tidak secara gradual, tapi bertahap. Saya yakin DPR butuh waktu 50 tahun untuk merevisi pasal-pasal,” ujarnya.
Anggara berpandangan, dalam draf RKUHP yang diserahkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Menkumham saat itu Amir Syamsuddin, terdapat banyak duplikasi. Ia berpendapat ketimbang bakal berjalan alot pembahasannya, maka pemerintah lebih baik membuat terjemahan resmi KUHP. Dengan begitu, revisi dapat dilakukan dengan berangkat dari terjemahan resmi KUHP tersebut.
ICJR yang tergabung dalam aliansi nasional reformasi KUHP memang fokus mendorong pembahasan dilakukan bertahap. Menurutnya, draf RKUHP memuat 700 pasal. Dengan ratusan pasal tersebut bukan perkara mudah dalam pembahasan antara DPR dengan pemerintah. “Kemudian apakah perlu meningkatkan ancaman pidana atau mulai pidana denda, atau ancaman pidana saja,” ujarnya.
Anggara ragu jika DPR dan pemerintah dapat menyelesaikan pembahasan RKUHP dengan banyaknya pasal. Menurutnya, jika pemerintah dan DPR menginginkan perombakan total KUHP, mesti menyesuaikan dengan asas-asas. Misalnya, hukum adat yang tidak tertulis dan bersifat tidak pasti.
Selanjutnya, kata Anggara, pembahasan RKUHP mesti ada kepastian pembahasan. Pasalnya, jika pembahasan RKUHP tak rampung di satu rezim pemerintahan dan DPR, akan berdampak pada nasib RKUHP. “Kalau pemerintah dan DPR nya berganti, terus mau diapakan? Makanya harus bertahap,” ujarnya.
Lebih jauh, ia berpandangan pemerintah dan DPR diharapkan tak berambisi merombak total KUHP. Menurutnya, DPR dan pemerintah mulai menyisir sejumlah pasal yang sudah tidak berlaku di tengah masyarakat. “Mulai merombak dari yang ringan-ringan. Jangan punya mimpi merombak total,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Achyar Salmi, mengatakan ide merevisi KUHP sudah berjalan lama, sejak 1980. Dalam draf RKUHP lalu, terlihat kompilasi dengan menarik dari berbagai Undang-Undang di luar KUHP. Misalnya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan lainnya. Selain itu adanya asas-asas dan politik hukum dan serta hukum pidana.
“Ini semua mau disatukan semua, UU korupsi TPPU dan lain-lai. Pertanyannya ini mau kodifikasi atau kompilasi,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan konsistensi soal asas menjadi penting. Misalnya terkait dengan jenis pemidanaan, hukuman pokok dan tambahan. Ia berpandangan asas penjatuhan hukuman tak boleh dua hukuman pokok dijatuhkan. Lebih jauh ia bependapat dalam draf RKUHP lalu, terdapat over laping. Pasalnya, adanya pengaturan pasal yang sama.
“Ini menjadi problem penempatan sistematika, kami juga mengkritisi. Kemudian tidak konsisten, ada UU di luar KUHP diambil lebih banyak. Tetapi ada juga yangs edikit diambil, ini akan menjadi problem. Jadi banyak masalah menurut hemat saha, cepat boleh tetapi jangan tergesa-gesa (pembahasannya, red),” katanya.
Lebih jauh, Achyar berpandangan jika DPR dan pemerintah menganut sistem kodifikasi, diharapkan hasil RKUHP dapat berlaku ratusan tahun, dan tidak dilakukan amandemen. Makanya Achyar menyarankan agar DPR dan pemerintah melakukan pembahasan mengedepankan asas kehati-hatian.
“Atau kita kompilasi sekalian. Makanya pertanyaan ini kodifikasi atau kompilasi,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin tak dapat menjelaskan apakah menggunakan sistem kodifikasi, kompilasi atau bertahap. Menurutnya, hal itu bergantung dari naskah akademik yang diberikan pemerintahan Joko Widodo. “Ada pun kodifikasi atau kompilasi saya tidak ingin mendalami. Tetapi saya ingin melihat naskah akademiknya. Biasanya berubah, makanya kita ingin lihat lebih dahulu,” ujarnya.
Politisi Partai Golkar itu lebih jauh berpendapat, pemerintah berjanji akan memberikan draf pada Maret mendatang. Nah harapannya, pemerintah tak lagi molor memberikan draf RKUHP. Pasalnya saat pemerintahan SBY, draf RKUHP diberikan di penghujung DPR periode 2009-2014.
“Kami harapkan janji pemerintah komitmen tepat waktu. Kalau tidak masa sidang ini, maka Prolegnas 2015 tidak akan tercapai,” ujarnya.
Sumber: HukumOnline.com