Pemerintah diminta untuk menggelar uji publik terhadap Peraturan Daerah (Perda) Syariah di Aceh, baik hukum pidana (Qanun Jinayat) maupun hukum acara pidana. Pasalnya, peraturan tersebut dinilai bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketua Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Wahyu menuturkan uji publik diperlukan dengan melibatkan para akademisi dan pakar hukum pidana di Indonesia. “Untuk melihat lebih jernih nhatan Qanun Jinayat tersebut apakah bertentangan dengan undang-undang di Indonesia dan menjadikan aturan Hak Asasi Manusia sebagai batu uji melakukan review,” ujar Anggara saat jumpa pers “Catatan Akhir Tahun dan Rekomendasi Awal Tahun ICJR” di Cikini, Jakarta, Minggu (11/1).
ICJR melihat sejumlah masalah muncul sejak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun Jinayat pada 27 September 2014 lalu. Masalah tersebut meliputi rumusan unsur-unsur tindak pidanan, jenis pemidanannnya, dan masalah hukum acara.
“Bentuk hukuman dalam Qanun merupakan bentuk hukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat,” ujar Anggara. Salah satunya yakni hukuman cambuk. Menurutnya, hukuman tersebut bertwntangan dengan Konvenan Internasional Soal Hak-Hak Sipil dan Politik.
Senada dengan Anggara, Ketua Badan Pengawas ICJR sekaligus mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim berpendapat, hukuman cambuk juga salah sasaran pada konteks tindak pidana pemerkosaan. “Orang yang jadi korban pemerkosaan malah mendapat hukukan cambuk. Harusnya korban diproteksi,” ucapnya saat jumpa pers.
Selain itu, hukuman cambuk juga diterapkan pada kejahatan ringan seperti pelanggaran tata cara berpakaian islami, menjual makanan saat bulan puasa, dan khalwat atau berdua-duaan dengan pria yang bisa dinikahi. Implementasi hukuman cambuk pun beragam, bisa 10 hingga 200 kali.
Anggara menambahkan, hukuman cambuk juga rentan diterapkan pada masyarakat miskin. Hukuman cambukbdapat digantikan dengan membayar denda. Namun bagi orang yang tak dapat membayar denda, maka tak ada pilihan selain menerima cambuk. Lebih jauh, potensi pungutan liar dalam peradilan oleh aparat penegak hukum juga rentan terjadi.
Muerujuk data ICJR, pada tahun 2011 hukuman dilakukan sebanyak 17 kali. Tahun berikutnya, sebanyak 30 kali. Sementara itu, pada tahun 2013 pelaksanaan hukuman cambuk yakni pada 28 perkara.
Sumber: CNN Indonesia