Hari Kejaksaan: ICJR Dukung Penguatan Peran Jaksa sebagai Pengendali Utama Perkara Pidana

Jaksa diharapkan dapat memimpin perkembangan arah perkara pidana sejak dari awal proses penyidikan mengingat perannya sebagai dominus litis dalam sistem peradilan pidana. Dalam tataran kebijakan, ICJR mendorong agar kewenangan jaksa khususnya dalam seluruh tahapan proses sebelum persidangan dapat diperkuat salah satunya melalui revisi KUHAP.

Jaksa merupakan pemegang hak “tunggal” dalam penuntutan (dominus litis) dalam sistem peradilan di Indonesia. Oleh karenanya menjadi wajar apabila dalam sistem peradilan pidana yang semestinya dipahami beroperasi secara terpadu, jaksa bertanggung jawab memimpin terhadap seluruh tahapan proses pra-persidangan sebab dia lah satu-satunya pihak yang nantinya akan menyajikan perkara tersebut di persidangan.

Namun ICJR memandang peran jaksa sejauh ini seperti terlihat hanya sekedar “meneruskan” berkas perkara yang dibuat oleh penyidik untuk disidangkan di pengadilan tanpa betul-betul berperan secara substansial dalam menentukan arah perkembangan perkara. Misalnya dalam hal penuntutan terhadap pengguna narkotika, jaksa semestinya dapat menggali kebutuhan rehabilitasi dengan tidak harus bergantung pada ada atau tidaknya assessment kebutuhan rehabilitas melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang secara administratif perolehannya di tingkat penyidikan relatif sulit, jaksa penuntut umum harus melihat kebutuhan tersangka kasus narkotika, dengan memastikan bahwa pengguna narkotika berhak mendapatkan rehabilitasi, berhak dihindarkan dari pemenjaraan. Jaksa penuntut umum seharusnya yang bisa menyelamatkan pengguna narkotika untuk tidak dikirim ke penjara, hal ini adalah pengejahwantahan dari tugas penting jaksa menilai tercapainya tujuan pemidanaan. Untuk kasus narkotika, khususnya pengguna, jelas penjara bukanlah tempat yang tepat.

Kemudian dalam kasus-kasus yang dijerat dengan UU ITE, proses penegakan hukum juga terlampau terpaku pada paradigma yang dibangun oleh penyidik. Pasal-pasal UU ITE yang dalam perumusannya sudah bermasalah, dalam praktiknya kemudian juga banyak ditafsirkan dengan tidak mematuhi prinsip-prinsip dasar hukum pidana. Misalnya, bagaimana penerapan pasal-pasal UU ITE seharusnya tetap merujuk pada delik-delik di KUHP. Jika dilihat dari segi pendalaman ilmu hukum, jaksa secara umum harusnya menjadi ahli hukum yang memahami aspek penting dari penerapan hukum yang sejalan dengan kaidah hukum pidana. Oleh karena itu, ketika jaksa secara aktif mampu memimpin jalannya pengembangan perkara sejak awal, praktik-praktik penerapan pasal pidana yang keliru tersebut seharusnya dapat diminimalisir. Misalnya dalam kasus UU ITE sejenis Baiq Nuril di PN Mataram, jaksa harus mampu menilai bahwa praktik penyidikan yang menjadikan Baiq Nuril tersangka dalam tataran norma tidak tepat, Pasal 27 ayat (1) UU ITE harusnya tidak dapat diterapkan padanya, terlebih dalam posisi Baiq Nuril sebagai korban kekerasan seksual dari atasannya.

ICJR juga menilai jaksa sejauh ini kurang maksimal dalam menerapkan asas oportunitas yang secara eksklusif sebagai kewenangannya. Hal ini dapat terlihat misalnya dalam sepanjang 2020 ditemukan banyak kasus-kasus pidana ringan maupun kasus-kasus lainnya yang semestinya tidak layak untuk disidangkan sehingga mendapat banyak perhatian publik karena dirasa mencederai rasa keadilan.

Pada awal tahun 2020 terdapat kasus Kakek Samirin yang dituntut ke persidangan karena mengambil getah rambung seberat 1,9 Kg yang nilainya hanya setara dengan Rp. 17.480. Kemudian pada bulan Juni 2020 kembali muncul kasus pencurian ringan tiga buah tandan buah sawit senilai Rp. 76.500, 00 oleh seorang ibu tiga anak yang didorong karena kebutuhan untuk memberi makan anak-anaknya. Tidak terkecuali dalam masa pandemi, terdapat pula kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan PSBB yang seharusnya masuk dalam ranah administrasi juga dituntut secara pidana. Lalu yang paling terakhir mencuat konflik individu terkait penagihan hutang melalui sosial media Instagram yang berujung pada penuntutan pidana.

Tidak hanya pada 2020 ini, pada Juli 2018 lalu pun terdapat kasus WA di Muara Bulian, Jambi. WA merupakan korban perkosaan, mengalami kehamilan yang harus melahirkan secara tidak aman, namun ia justru sempat diputus bersalah di tingkat PN dengan tuduhan melakukan aborsi, padahal jika jaksa penuntut umum memaksimalkan jalannya asas oportunitas-nya, maka tidak ada kepentingan mempidana korban perkosaan, persis seperti apa yang diputuskan PT Jambi yang melepaskan WA dan dikuatkan juga oleh Mahkamah Agung.

Dalam kasus-kasus tersebut, jaksa seharusnya dapat menggunakan asas oportunitas untuk mengesampingkan perkara atau seponering. Penggunaan asas oportunitas dijamin dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yaitu kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”. Selanjutnya Pasal 37 ayat (1) UU Kejaksaan juga mengamanatkan bahwa “Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan berdasarkan hukum dan hati nurani”. Tidak hanya dalam kewenangan seponering, dalam menjamin pelaksanaan asas oportunitas bisa juga di-exercise dengan kewenangan menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Pelaksanaan asas oportunitas semestinya tidak semata-mata hanya diberikan untuk pejabat dengan kasus-kasus berlatar belakang politis, tetapi seharusnya malah lebih tepat diprioritaskan untuk kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi, utamanya dalam konteks pandemi Covid-19.

Memaksimalkan peran jaksa menggunakan asas oportunitas juga sejalan dengan arah pembaruan hukum di Indonesia yang mempromosikan restorative justice untuk diterapkan dari awal sistem peradilan pidana khususnya ketika proses sebelum persidangan. Arah pemidanaan yang bukan lagi bertumpu pada pembalasan/retributif harus dipahami oleh seluruh aparat penegak hukum yang bekerja dalam setiap tingkatan pemeriksaan perkara pidana, tidak terkecuali jaksa. Sehingga dalam kasus-kasus seperti di atas, sebelum melimpahkan ke pengadilan, jaksa perlu mempertimbangkan peluang penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice, yang melihat dengan kacamata lebih luas bahwa tujuan intervensi ini adalah untuk mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula dan memastikan bagaimana pelaku dapat kembali hidup di tengah masyarakat tersebut, yang mana bentuk intervensi tersebut tidak selalu harus melalui penghukuman terhadap pelaku.

Pada momen perayaan Dirgahayu Kejaksaan yang ke-60 ini, ICJR kembali mengingatkan kejaksaan untuk memperkuat diri dengan memastikan perannya sebagai dominus litis dalam sistem peradilan pidana dapat dijalankan secara efektif. Untuk mendukung penguatan tersebut, dalam tataran kebijakan, ICJR juga mendorong agar institusi kejaksaan dapat diperkuat melalui revisi KUHAP agar jaksa dapat diberi kewenangan yang lebih besar khususnya dalam mengontrol dan menentukan arah perkembangan perkara pidana sejak dari awal proses penyidikan.


Tags assigned to this article:
hukum pidanakejaksaansistem peradilan pidana

Related Articles

Indonesia: Repeal or revise all provisions in the new Aceh Islamic Criminal Code that violate human rights

Amnesty International and the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) are gravely concerned about the passage of the Aceh Islamic

ICJR: RUU Larangan Minuman Beralkohol Memicu Overkriminalisasi

RUU Larangan Minuman Beralkohol kembali masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015. Sebelumnya, dengan dorongan oleh Fraksi

JKRN Ingatkan Solusi Reformasi Kebijakan Narkotika Tidak Tepat Dengan Rehabilitasi Wajib Berbasis Hukuman

Rilis JRKN: Respon terhadap Raker Menkumham dengan Komisi III DPR RI tentang RUU Narkotika 31 Maret 2022 Pada 6 Desember

Verified by MonsterInsights