Penyidikan atas dugaan penyebaran berita bohong terhadap Aiman Witjaksono dihentikan oleh penyidik Polda Metro Jaya pada Rabu (29/03/2024). Penyidikan kasus ini sempat dinyatakan akan terus dilanjutkan oleh pihak Polda Metro Jaya terlepas dari adanya proses praperadilan atas penyitaan telepon genggam Aiman yang diduga cacat hukum. Dalam Surat Penghentian Penyidikan, penyidik tidak menjabarkan alasan lebih lanjut dari penghentian penyidikan kasus ini selain alasan demi hukum.
ICJR menilai bahwa penghentian kasus ini sudah seharusnya dan justru mempertanyakan bahwa mengapa kasus ini sempat naik ke penyidikan. Sedari awal, isi dari konten yang disebarkan oleh Aiman terkait netralitas APH dalam pemilu yang lalu adalah suatu bentuk kritik yang seharusnya diterima oleh APH sebagai pengingat. Tindakan pihak penyidik yang melanjutkan kasus ini bahkan hingga melakukan penyitaan telepon genggam dengan cara yang tidak sesuai dengan Pasal 38 KUHAP seakan menunjukkan sikap anti kritik. Meskipun penyidikan atas perkara ini dihentikan, sikap yang diambil oleh kepolisian ini seakan ditujukan untuk menimbulkan iklim ketakutan atau “chilling effect”. Hal ini tentunya sebuah tindakan sewenang-wenang karena dapat menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang ingin menyuarakan gagasan atau kritik demi perbaikan lembaga negara, pejabat, maupun pemerintahan dan menghambat demokrasi.
Di sisi lain, penghentian penyidikan ini sejalan dengan pencabutan Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XXI/2023. Kedua pasal ini memiliki rumusan unsur yakni, “berita bohong”, “berita yang dilebih-lebihkan atau tidak pasti”, dan “keonaran” yang berpotensi subjektif dan tidak jelas parameter/tolok ukurnya. Oleh karena itu, keberadaan pasal-pasal ini malah menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis maupun masyarakat yang menggunakan hak berekspresi dan berpendapatnya seperti kasus Aiman.
Dengan ini, ICJR mendorong:
Pertama, pihak kepolisian melakukan pembinaan internal terhadap jajarannya untuk tidak membuka peluang penggunaan pasal-pasal pidana yang dapat memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi serta berpeluang membunuh demokrasi.
Kedua, aparat penegak hukum untuk menghentikan proses pidana atas kasus-kasus yang masih berjalan dan diproses dengan dasar Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946. Selain kasus Aiman, terdapat beberapa kasus yang diproses dengan pasal-pasal ini sejak 2023 hingga 2024. Misal, penyidikan kasus Rocky Gerung atas pernyataannya terkait kepergian Presiden Joko Widodo ke Cina dan IKN dan Palti Hutabarat yang mengunggah rekaman suara tentang dukungan pejabat terhadap salah satu calon presiden.
Ketiga, aparat penegak hukum juga harus mengacu pada pertimbangan dan hasil Putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XXI/2023 dalam mengimplementasikan pasal penghinaan individu maupun pasal penyebaran berita bohong yang masih terdapat dalam KUHP maupun UU ITE. Penting bagi aparat untuk mengingat bahwa pembatasan hak berekspresi dan berpendapat harus dilakukan dengan hati-hati agar justru tidak terjadi over kriminalisasi.
Keempat, ICJR juga mendorong pemerintah untuk mencabut pasal penyebaran berita bohong dalam UU ITE dan KUHP Baru. Rumusan pasal penyebaran berita bohong dalam UU ITE dan KUHP masih membuka peluang mis implementasi karena masih belum memasukkan batu uji yang jelas. Terlebih, dalam KUHP Baru, Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP Baru ini masih memuat istilah “berita atau pemberitahuan bohong” dan “berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau tidak lengkap” yang tidak jelas parameternya.
Jakarta, 28 Maret 2024
Hormat kami,
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)