Inspektur Pengawasan Umum Polri mengumumkan bahwa PC yang merupakan kasus tersangka kasus pembunuhan Brigadir J sampai saat ini belum ditahan. Kepolisian RI mempertimbangkan hal-hal terkait kemanusiaan, sehingga penyidik mengabulkan dengan ketentuan untuk melakukan wajib lapor 2x dalam seminggu. Hal ini lantas menimbulkan perdebatan di publik mengenai permasalahan PC tidak ditahan, di saat perempuan tersangka lain bahkan harus membawa anaknya ke tempat penahanan.
ICJR perlu tekankan bahwa penahanan memang bukan merupakan keharusan, bukan suatu kewajiban, tidak mesti bahwa orang yang menjadi tersangka harus ditahan. Penahanan hanya apabila kepentingan pemeriksaan dibutuhkan, misalnya jika tidak ditahan kepentingan pemeriksaan akan terhambat. Selain itu, untuk tersangka perempuan dengan kebutuhan spesifik berbasis gender harus dipertimbangkan, misalnya apakah perempuan tersebut memiliki beban pengasuhan, menjadi pengasuh utama ataupun sedang hamil harus dihindarkan dari penahanan. Hal ini berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia harus menjadi acuan penilaian ketika penyidik akan menahan atau tidak.
Namun memang dalam kerangka hukum KUHAP saat ini banyak sekali permasalahan dalam hukum penahanan, antara lain sebagai berikut:
Pertama, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya digantungkan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik. Padahal sistem seperti ini merupakan suatu masalah membuat sistem peradilan pidana di Indonesia tidak akuntabel. Pasal 9 ICCPR menjelaskan bahwa orang yang ditahan harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Otoritas ini menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan. Sehingga KUHAP harus direvisi memastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan yang bertugas salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan/tidak secara akuntabel, tidak hanya pertimbangan penyidik semata.
Kedua, KUHAP tidak memberikan kewajiban aparat penegak hukum untuk bagaimana secara objektif mengurai terpenuhinya syarat-syarat dapat dilakukannya penahanan. Menurut putusan pengadilan HAM Eropa Piruzyan v. Armenia, para 99-100, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak, yang berbasis stereotype ataupun adalah alasan yang diulang-ulang. Perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri ataupun menghalangi penyidikan. Hal ini tidak terjadi dalam praktik di Indonesia, jika kita lihat surat perintah penahanan, maka uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis, hanya narasi copy paste yang diulang-ulang. Pendekatan yang digunakan oleh penyidik dalam menentukan penahanan ini adalah dengan pendekatan kewenangan, terdapat pemahaman bahwa penyidik telah memiliki kewenangan penahanan sehingga tidak diperlukan adanya uraian lagi. Dengan sistem tanpa hakim pemeriksa seperti saat ini, penyidik tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel.
Ketiga, KUHAP pun tidak mengakomodir pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya. Harusnya terdapat penegakan dalam KUHAP bahwa otoritas yang melakukan penahanan harus terlepas dari aparat penegak hukum, sehingga penahanan di kepolisian dan kejaksaan harus dihapuskan. Harus ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan non rutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia, dan juga untuk tersangka/terdakwa dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan.
Sudahlah kita harusnya bisa bersepakat bahwa KUHAP sudah tak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel, salah satunya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum utamanya penyidik.
Jakarta, 2 September 2022
Hormat Kami,
Erasmus Napitupulu
Direktur Eksekutif ICJR