Pemenjaraan terhadap jurnalis kembali terjadi. Kali ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Palopo, Sulawesi Selatan menyatakan terdakwa Muhammad Asrul, seorang jurnalis, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 ayat (3) Juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Atas dasar tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman selama tiga bulan penjara kepada Muhammad Asrul pada Selasa, 23 November 2021.
Kasus tersebut bermula saat Muhammad Asrul menerbitkan tiga berita pada Mei 2019 tentang dugaan korupsi di kota Palopo. Berita yang dibuat tersebut menyeret nama Kepala BPKSDM Palopo, Farid Karim Judas. Atas terbitnya berita tersebut, Farid Karim Judas melaporkan Asrul ke Polda Sulsel pada 17 Desember 2019. Selanjutnya, pada 29 Januari 2020 dimulai penyidikan atas kasus tersebut dan pada 30 Januari 2020 terbit surat penahanan terhadap Muhammad Asrul.
Menanggapi kasus tersebut, ICJR menilai putusan pengadilan negeri kota Palopo yang memutus bersalah Muhammad Asrul mengancam kebebasan pers di Indonesia. Hal ini didasarkan atas tiga hal,
Pertama, sengketa pers bukan merupakan tindak pidana sehingga penyelesaiannya dilakukan melalui Dewan Pers. Dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/VII/2017, kasus yang ditangani oleh Kepolisian atau Pengadilan yang dapat mengancam dan membahayakan sendi-sendi kemerdekaan pers dan hak asasi manusia seharusnya ditangani pengaduannya oleh Dewan Pers.
Mendahulukan mekanisme non-pidana juga didukung melalui berbagai preseden dalam putusan Mahkamah Agung, salah satunya Putusan Mahkamah Agung No. 1608K/Pid/2005 yang menyatakan bahwa tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas. Oleh karena itu tata cara non pidana seperti yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum lain.
Kedua, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI telah menandatangani SKB tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa pemberitaan yang merupakan karya jurnalistik diproses menggunakan UU Pers. Dalam prosesnya, penyelesaian kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers. Namun, dalam kasus Muhammad Asrul, walaupun telah ada pernyataan dari Dewan Pers bahwa berita tersebut merupakan karya jurnalistik, kasus tetap dilanjutkan sampai ke pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa penegak hukum justru tidak menjalankan ketentuan dalam SKB sebagaimana mestinya.
Ketiga, proses hukum ini adalah sinyal kuat dari menurunnya iklim demokrasi di Indonesia. Kondisi buruk demokrasi yang salah satunya dapat terlihat dari terancamnya kebebasan pers menunjukkan bahwa Indonesia memang sedang dalam keadaan memprihatinkan. Penggunaan pidana pada karya jurnalistik juga mencoreng wajah pemerintahan saat ini yang semakin terlihat tidak mampu memastikan hadirnya rasa aman bagi kebebasan pers.
Atas dasar tersebut, penjatuhan pidana terhadap Muhammad Asrul oleh Majelis Hakim PN Kota Palopo dapat dikatakan keliru. Penjatuhan pidana menggunakan delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam kasus tersebut hanya menambah catatan buruk atas penghormatan terhadap kebebasan pers di Indonesia.
ICJR meminta agar Kapolri dan Jaksa Agung segera mengevaluasi petugas yang terlibat dalam kasus ini untuk menunjukkan keseriusan reformasi kelembagaan dan penghormatan pada hak asasi manusia, utamanya terkait kebebasan pers. MA juga harus mengevaluasi hakim yang tidak memutus berdasarkan perkembangan hukum yang telah memberikan banyak penekanan pada larangan pemidanaan karya jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers.
Dalam momentum rencana perubahan UU ITE yang kedua saat ini, ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) maupun pasal lain dalam UU tersebut yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, mesti dikaji ulang. Pemerintah bersama penegak hukum mesti mengedepankan penghormatan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi pada umumnya, serta kebebasan pers pada khususnya.
Jakarta, 25 November 2021
Hormat kami,
ICJR
CP: Sustira Dirga (Peneliti ICJR)