Polrestabes Palembang bersama Polda Sumsel menangkap empat tersangka pembunuhan dan pemerkosaan anak di bawah umur dengan korban yaitu AA berusia 13 tahun pada Selasa, 3 September 2024. Keempat pelaku (selanjutnya disebut anak yang berkonflik dengan hukum (ABH)) yaitu IS (16 tahun) berdasarkan pemberitaan diketahui menyukai korban, namun korban menolak pelaku, kemudian pelaku mengajak temannya MZ (13 tahun), NS (12 tahun), dan AS (12 tahun) untuk menganiaya korban hingga kemudian meninggal dunia dan memperkosa korban. Korban ditemukan tewas di Tempat Pemakaman Umum Talang Kerikil, Kota Palembang pada 1 September 2024.
Aliansi PKTA sangat prihatin dan turut berbelasungkawa atas tindak kekerasan yang menimpa korban Anak perempuan tersebut, dan mendorong aparat penegakan hukum menjunjung tinggi keadilan bagi korban dan keluarganya.
Berdasarkan pemberitaan lebih lanjut, saat ini, hanya IS (16 tahun) yang ditahan pada proses penyidikan, sedangkan ketiga ABH lainnya dilakukan rehabilitasi dikarenakan usia ketiga ABH lainnya di bawah 14 tahun, yang sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) tidak dapat dilakukan penahanan.
Keterlibatan ABH pada tindak kekerasan dan kekerasan seksual yang memprihatinkan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Apalagi dengan adanya fakta bahwa ketiga ABH tidak ditahan dengan penahanan rutan. Berkembang narasi di masyarakat untuk menuntut penahanan bagi ketiga ABH lainnya, bahkan juga dengan narasi untuk menurunkan usia pertanggungjawaban pidana ABH, dan menuntut hukuman yang berat bagi ABH tersebut, dengan alasan jika penghukuman berat tidak dilakukan kasus sejenis akan kembali terjadi.
Aliansi PKTA memahami kemarahan publik atas kasus ini dan penanganannya. Namun, Aliansi PKTA mencermati pentingnya publik, termasuk orang tua, aparat penegak hukum serta jajaran pemerintah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan tumbuh kembang Anak (di bawah 18 tahun) untuk tidak menghadirkan solusi dengan mendorong hukuman penjara yang terus diperberat. Karena penjara apalagi yang semakin diperberat/ durasi yang ditingkatkan bukan solusi untuk mengatasi permasalahan anak melakukan tindak pidana.
Aliansi PKTA mendasari hal tersebut, berdasarkan hal berikut:
Pertama, dalam mencermati kekerasan yang dilakukan anak, perlu tinjauan yang luas, tidak hanya soal hukuman yang dianggap kurang cukup. Berdasarkan systematic review terbaru (2024) yang menguji tentang faktor sosial anak melakukan tindak pidana, ditemukan bahwa dinamika keluarga dan faktor sosial berkaitan dengan tumbuh kembang anak adalah faktor yang memberikan pengaruh anak melakukan tindak pidana. Anak yang tumbuh pada keluarga yang mengekspresikan afeksi, kasih sayang, pemberian semangat dan apresiasi, menjadi lebih tidak rentan melakukan perbuatan penyimpangan sosial. Sedangkan anak yang mengalami penelantaran berisiko lebih tinggi terlibat dalam tindak pidana (Abhishek dan Balamurugan, 2024).
Sedangkan spesifik untuk anak yang melakukan kekerasan seksual, lebih banyak lagi faktor yang mempengaruhi yang harus diperhatikan, yaitu bahwa anak yang melakukan kekerasan seksual rentan memiliki riwayat pernah menjadi korban kekerasan seksual, dan kekerasan fisik dari orang terdekatnya (TC Johnson, 1998). Anak yang terjerat dalam perilaku seksual bermasalah memiliki riwayat tinggi atas trauma dan PTSD symptoms, mereka memiliki kecenderungan mengalami riwayat pelecehan seksual dan kekerasan/pengancaman (Curwen et al., 2014). Terdapat riwayat kekerasan dari anak pelaku kekerasan seksual yaitu mulai dari kekerasan fisik, emosional, penelantaran, hingga terpapar kekerasan (Harrelson, Alexander, Morais, & Burkhart, 2017; Kemper & Kistner, 2010; Vizard et al., 2007), mereka lebih memiliki riwayat menjadi korban kekerasan dan kekerasan seksual (Malvaso et al., 2018).
Dalam tinjauan literatur tentang kekerasan terhadap anak di Indonesia (2023) juga menemukan banyak faktor berkontribusi pada terjadi kekerasan terhadap anak, yaitu berkaitan dengan faktor individual seperti pengetahuan dan sikap anak, hubungan interpersonal anak dengan orang tua, utama berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan, status sosial-ekonomi, termasuk juga lingkungan keluarga yang sangat menentukan (Amalia, 2023).
Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan dengan kondisi keluarga, pengawasan orang tua, lingkungan, yang sangat berkaitan dengan faktor pendidikan. Sedangkan di Indonesia, kekerasan dalam lingkup keluarga masih terus terjadi (Neherta, Meri, et.al, 2024), dan berdasarkan Survei Nasional Sosial Ekonomi, 16,189 anak di Indonesia mengalami penelantaran (Berliana, Sarni Maniar et.al, 2024). Kompleksitas anak melakukan tindak pidana tidak hanya soal kurangnya hukuman yang diberlakukan pada Anak yang Berkonflik dengan Hukum.
Kedua, spesifik tentang kekerasan seksual, maka ini menjadi cambuk untuk menjamin pendidikan seksualitas yang komprehensif bagi anak dan remaja. Pendidikan ini bertujuan untuk mempersiapkan anak dan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang saling menghormati, membuat pilihan yang bertanggung jawab, serta memahami dan melindungi hak orang lain. Dengan pengetahuan tersebut, anak dan remaja dapat mengelola perubahan fisik dan emosional, termasuk selama masa pubertas dan remaja. Hal ini akan mengurangi risiko kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan.
Sayangnya di konteks Indonesia, sikap remaja terhadap pencegahan kekerasan berbasis gender, yang sangat berkaitan dengan kekerasan seksual masih memuat catatan. Studi pada 3.618 remaja di Indonesia menemukan bahwa 53% remaja laki-laki memiliki kecenderungan untuk mendukung kekerasan berbasis gender (KBG). Remaja laki-laki lebih cenderung memiliki persepsi tentang peran gender yang timpang, cenderung melakukan KBG dan mendukung hubungan timpang heteronormatif dibandingkan perempuan. Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat norma tidak setara yang intensif diberikan kepada anak dan remaja sepanjang masa pubertas, yang berkontribusi pada kecenderungan terjadinya KBG (Mahendra, et al, 2021). Penelitian ini menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mendukung pendidikan seksual komprehensif untuk mencegah kekerasan berbasis gender (Mahendra, et al, 2021).
Perhatian khusus juga diperlukan untuk mencegah anak terpapar pornografi. Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2021, menunjukkan 66% anak laki-laki dan 63,2% anak perempuan telah menyaksikan tayangan bermuatan seksual secara daring. Hal ini sejalan dengan temuan video pornografi yang dimiliki oleh Anak berkonflik dengan hukum pada kasus ini. Intervensi komprehensif melibatkan orang tua dan sektor pendidikan yang tidak hanya dengan narasi penghukuman harus diberikan untuk menanggulangi permasalahan anak mengakses pornografi.
Ketiga, Aliansi PKTA mengingatkan bahwa narasi soal penghukuman hanya akan membuat semakin banyak ABH di penjara, yang tidak mengedepankan pendidikan. Berdasarkan Data Statistik Pemasyarakatan Tahun 2022, terjadi kelebihan kapasitas pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia dengan persentase sebesar 105% (per Maret 2022). Kondisi itu, menunjukkan saat ini penjara anak sudah mengalami kelebihan beban, pun dalam rentang waktu tersebut kekerasan dilakukan oleh anak terus terjadi. Lantas, dengan demikian kita patut mengkritisi efektivitas penjara dalam mendukung pembinaan dan reintegrasi anak yang berkonflik dengan hukum.
Keempat, Aliansi PKTA menekankan kembali pentingnya implementasi Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (STRANAS PKTA). Kebijakan ini memandatkan pemerintah untuk berkoordinasi dan menjalankan tujuh strategi untuk menghapus kekerasan terhadap anak. Tujuh strategi tersebut adalah: penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi, dan penegakan hukum; penguatan norma dan nilai anti Kekerasan; penciptaan lingkungan yang aman dari Kekerasan; peningkatan kualitas pengasuhan dan ketersediaan dukungan bagi orang tua/pengasuh; pemberdayaan ekonomi Keluarga Rentan; ketersediaan dan akses layanan terintegrasi; dan pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri Anak.
Kasus yang terjadi di Palembang patut menjadi refleksi bagi pemerintah dalam menilai sejauh mana telah menjalankan ketujuh strategi tersebut. Dalam dua kali proses monitoring, Aliansi PKTA menemukan bahwa kementerian dan lembaga pemerintah belum menjadikan strategi tersebut sebagai program khusus dan utama dalam rencana kerja pemerintah. Kementerian dan lembaga cenderung melakukan ‘kerja-kerja seperti biasa’ dalam implementasi Stranas PKTA, sehingga terkesan sekadar ada dan ceklis saja. Kasus di Palembang sangat besar terulang kembali jika pemerintah tidak secara bermakna melakukan implementasi Strategi Nasional PKTA.
Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, Aliansi PKTA mengingatkan hukuman yang lebih berat bukanlah solusi dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan anak. Selain itu, Aliansi PKTA mengakui bahwa keadilan bagi korban dan keluarga adalah prioritas, namun solusi harus didasarkan pada pendekatan yang mengutamakan rehabilitasi anak. Oleh karena itu, ABH seharusnya memperoleh pembinaan dan pendidikan yang tepat dan memadai, baik di lingkup keluarga, sekolah, pertemanan, maupun sosial masyarakat. Hal itu bertujuan untuk memastikan anak dapat kembali ke masyarakat dan mencegah pengulangan tindak pidana.
Oleh karena itu, Aliansi PKTA mendorong agar:
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengambil langkah tegas untuk menjamin hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dengan memperhatikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, lembaga rehabilitasi harus dipantau secara komprehensif guna menjamin pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi anak yang berkonflik dengan hukum.
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga perlu memantau memastikan hak korban Anak dan Anak berkonflik dengan hukum dalam kasus ini diberikan secara komprehensif, substansial, dan diawasi bersama.
- Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Penyidik dan Penuntut Umum harus berkoordinasi dengan Petugas Kemasyarakatan (PK) Bapas untuk melakukan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) secara komprehensif untuk menilai latar belakang pelaku anak berkonflik dengan hukum, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial serta latar belakang dilakukannya tindak pidana dan juga keadaan korban (Pasal 57 ayat (2) UU SPPA), untuk menjamin intervensi yang kemudian dihasilkan dari penegakan kasus ini dapat menjamin pertanggungjawaban Anak berkonflik dengan hukum secara proporsional dan berbasis kepentingan terbaik bagi anak dan mampu mencegah kasus serupa.
- Pemerintah secara serius mengimplementasikan Stranas PKTA, dan memasukkan tujuh strategi tersebut dalam rencana pembangunan jangka panjang menengah serta rencana kerja pemerintah, dan rencana strategis kementerian/lembaga. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memimpin proses evaluasi Stranas PKTA secara partisipatif, secara khusus melibatkan anak. Hasil evaluasi patut menjadi pembaharuan komitmen pemerintah dalam perencanaan dan penganggaran Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak.
Jakarta, 9 September 2024
Hormat Kami
Aliansi PKTA
(Penghapusan Kekerasan terhadap Anak)