Pengenaan perlakuan dan tindakan yang tepat bagi pengguna narkotika merupakan tema yang seakan tidak pernah tuntas untuk dibahas, baik dalam perdebatan akademik maupun pada pelaksanaan suatu proses peradilan pidana. Seringkali tarik-menarik antara pendekatan kriminal melalui pelaksanaan instrumen pidana dengan pendekatan kesehatan melalui rehabilitasi tidak menemui titik keseimbangannya. Hal tersebut disebabkan oleh pendekatan kriminal yang masih mendominasi terlebih dengan adanya dukungan otoritas yang diberikan melalui kewenangan penegak hukum.
Tak dapat disangkal bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah serius dan membutuhkan penanganan yang khusus. Salah satunya adalah dengan menciptakan dan memperkuat regulasi, baik dalam skala nasional maupun internasional. Melalui penguatan regulasi tersebut turut juga diberikan perluasan kewenangan kepada aparat penegak hukum. Kewenangan tersebut pada tataran ideal seharusnya sejalan dengan paradigma yang tepat dalam memandang pengguna narkotika.
Pengguna narkotika adalah pelaku kejahatan. Pola pikir demikian tidak hanya akrab ditemukan dalam interaksi di masyarakat namun juga melanda aparat penegak hukum bahkan pengadilan. Apabila ditelisik lebih dalam, antara pengguna narkotika dan pelaku tindak pidana narkotika terdapat perbedaan secara prinsipil. Pengguna narkotika justru merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika. Urgensi diadakannya pembedaan adalah agar pengenaan perlakuan kepada pengguna narkotika tepat sasaran. Sehingga pada jangka panjang, tidak hanya menghasilkan pemulihan bagi pengguna namun juga sebagai strategi dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
Di sisi lain, ketidakcakapan dalam melakukan pembedaan ini berimbas cukup besar kepada pengenaan tindakan dan perlakuan terhadap pengguna narkotika. Terutama apabila pengguna narkotika berhadapan dengan hukum. Status yang disandang pengguna narkotika sebagai pelaku tindak kejahatan seringkali berujung pada tindakan berupa pemenjaraan bukan pemulihan. Pengguna narkotika yang merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika menjadi korban kembali (re-victimization), baik korban dalam proses hukum maupun korban dalam stigma negatif secara sosial.
Pelaksanaan hukum yang memenuhi prinsip due process of law adalah ketika ditemukan skema dan mekanisme pengawasan yang memadai. Terlebih bagi pelaksanaan upaya paksa, yang pada dasarnya adalah perampasan terhadap kemerdekaan seseorang. Pengkategorian tindak pidana narkotika sebagai kejahatan serius berdampak pada minimnya bangunan pengawasan tersebut. Misalnya jangka waktu penangkapan yang diperlama dengan tujuan awal sulitnya pengungkapan terhadap tindak pidana narkotika terutama yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir, pada praktiknya dimanfaatkan untuk melakukan pengintaian dan memperkuat bukti guna menjerat pengguna narkotika.
Hal yang kurang lebih sama terjadi pada upaya paksa penahanan. Mulai dari rasionalitas penahanan yang seringkali dipertanyakan, tempat penahanan, hingga lamanya waktu penahanan. Penempatan pengguna narkotika pada lembaga rehabilitasi baik medis maupun sosial yang dititikberatkan pada subjektivitas penegak hukum mengakibatkan hal tersebut sulit untuk dilakukan. Begitu juga dengan penahanan yang cenderung dilakukan hingga mencapai batas maksimum penahanan. Padahal apabila dilihat dari kecenderungan pengguna narkotika yang tertangkap, ditemukan barang bukti, serta terdapat hasil uji laboratorium yang menunjukkan hasil positif, maka urgensi penahanan dalam waktu yang lama akan menemui tanda tanya besar.
Dominasi pemidanaan berupa penjara bagi pengguna narkotika tercermin dari ketidakjelasan perumusan pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Perumusan yang tidak jelas tersebut membawa akibat besar dengan mudahnya menjerat seseorang, tanpa membedakan apakah seseorang tersebut pengguna atau bukan pengguna narkotika. Prinsip ini sejatinya bertentangan dengan prinsip lex certa dan lex stricta yang merupakan perwujudan paham negara hukum.
Beberapa hal diatas tentu akan semakin buruk apabila hak atas bantuan hukum tidak dijamin dan difasilitasi. Hak atas bantuan sejalan dengan hak atas persidangan atau peradilan yang adil dan layak (fair trial). Selain itu, dengan melihat kepada tingginya ancaman pidana pada UU Narkotika, sudah seharusnya hak atas bantuan hukum menjadi prioritas dan wajib diberikan bagi pengguna narkotika.
Pelaksanaan suatu proses peradilan pidana bagi pengguna narkotika dalam praktik memberikan penegasan terhadap dominasi pendekatan pidana tersebut. Pola pemidanaan berupa penjara masih cenderung diterapkan baik oleh penuntut umum dalam dakwaan dan tuntutan serta hakim dalam putusan. Meskipun ruang hakim untuk menempatkan pengguna narkotika pada lembaga rehabilitasi baik medis maupun sosial terbuka dengan lebar namun cenderung tidak dijalankan.
Penelitian ini hadir dalam rangka memberikan potret terhadap hal di atas berdasarkan data yang diolah secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Dimana telah dilakukan penelusuran dari sisi normatif berdasarkan regulasi termasuk memberikan catatan kritis terhadapnya. Lalu, akan dibenturkan dengan sisi implementasi yang dicerminkan oleh putusan pengadilan. Kombinasi keduanya menghantarkan pada gambaran besar politik hukum pidana terhadap pengguna narkotika.
Terhadap permasalahan pada sistem peradilan pidana tentu perlu diupayakan perubahan dan perbaikan secara terus menerus. Kami, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), berkomitmen untuk turut serta mendorong perubahan tersebut. Penelitian ini merupakan satu langkah di tengah langkah-langkah lain yang kami lakukan dengan tujuan sistem peradilan pidana di Indonesia yang kental dengan nilai dan perspektif hak asasi manusia. Kami sadar bahwa masih terdapat kekurangan pada penelitian ini. Untuk itu, kritik dan saran sangat membantu penyempurnaan penelitian ini di kemudian hari.
Silahkan unduh disini