Komitmen Mahkamah Konstitusi (MK) dalam melindungi hak asasi manusia warga negara Indonesia kembali dipertanyakan. Setelah melalui Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 tentang uji materi Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) MK dianggap melakukan blunder dengan menafsirkan kata segera selama 7 hari untuk sekedar memberikan surat tembusan pada keluarga tersangka. Kali ini kritik kembali disampaikan oleh Direktur Komite Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) – Supriyadi W. Eddyono.
Supriyadi melemparkan kritik terhadap putusan MK No. 78/PUU-XI/2013, dirinya menilai MK tidak memahami permasalahan Upaya Paksa dalam KUHAP yang erat kaitannya dengan perlindungan HAM di Indonesia. Putusan yang dibacakan pada Kamis, 20 Februari 2014 ini diajukan oleh Anwar Sadat, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan dan ICJR sendiri.
Dalam permohonanan, Anwar Sadat dan ICJR yang diwakilkan oleh Public Interest Lawyer Network (PILNet) mendalilkan bahwa di tengah upaya mencari keadilan para pihak yang merasa dirugikan terhadap upaya paksa, timbul permasalahan terkait norma praperadilan yang berasal dari pengaturan pada Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP.
Ketidakseragaman interpretasi itu terkait dengan frasa “…hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang…”. Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP yang selama ini menjadi dasar tafsir bahwa Hakim praperadilan “wajib” mendengar keterangan kedua belah pihak dalam sidang praperadilan termasuk pejabat yang berwenang, telah mengakibatkan seringnya Praperadilan tidak dapat dimulai karena Pejabat yang berwenang tidak hadir dalam sidang perdana, yang berakibat gugurnya permohonan praperadilan.
Di lain pihak,pengaturan yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP yang berbunyi “pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya” juga tidak kalah banyak menimbulkan berbagai penafsiran dan potensi ketidakpastian hukum sepanjang mengenai kapan dimulainya waktu 7 hari sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.
Lebih lanjut, pengaturan praperadilan dalam KUHAP diperparah dengan kehadiran Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan bahwa “permohonan perkara praperadilan (yang belum diputus) gugur, pada saat perkara pidana pokok sudah mulai diperiksa oleh pengadilan”. Gugurnya permohonan praperadilan sebelum adanya keputusan berkekuatan tetap oleh hakim praperadilan, jelas tidak selaras dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia, berdasarkan prinsip tersebut, sudah seharusnya pemeriksaan pokok perkara menunggu praperadilan selesai memeriksa dan memutus sah tidaknya penangkapan dan penahanan, sebab gugurnya Praperadilan saat dimulainya pemeriksaan pokok perkara, jelas menghilangkan hak tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan, sehingga secara terbuka hak konstitusional dari warga negara terancam untuk mendapatkan kepastian hukum, penjaminan dan perlindungan di muka hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28 D ayat (1) jo. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
Namun, dalam putusannya MK tidak sama sekali menyinggung terkait tafsir kapan pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari Praperadilan dimulai dan Praperadilan dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang. Bahkan terhadap praktik buruk yang sering dilakukan oleh aparat negara dikarenakan pengaturan yang inkonstitusional ini, MK mengatakan bahwa tersangka masih mempunyai hak untuk membela diri dan menyampaikan keberatannya terhadap hal yang dipermasalahkan di praperadilan waktu pemeriksaan pokok perkaranya.
Supriyadi menegaskan bahwa MK sepertinya lupa bahwa Praperadilan hadir dalam KUHAP saat pertama kali dibentuk tahun 1981 adalah untuk menjunjung martabat manusia dan menguji serta mengkontrol upaya paksa yang dilakukan oleh aparat negara. Memandang persoalan praperadilan dapat diselesaikan pada saat pokok perkara diperiksa di Pengadilan hanya membuka jalan untuk melegalkan seluruh potensi kesewenang-wenangan yang dilakukan aparat negara pada saat melakukan upaya paksa dan sekali lagi, MK telah melegalkan praktik pelemahan praperadilan