Untuk mengurangi beban Rutan dan Lapas akibat overcapacity maka pemerintah harus merombak total sistem penahanan. Sistem penahanan ini harus meliputi perbaikan dasar dan mekanisme kontrol, filter, dan komplain terhadap upaya penahanan
Pada 2004 hingga 2011, populasi penghuni penjara (rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan) meledak dua kali lipat dari 71.500 menjadi 144.000, padahal kapasitas penjara hanya bertambah kurang dari 2%. Pada Juli 2015, menurut Sistem Database Pemasyarakatan (SDB) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), ada sejumlah 178.063 penghuni yang tersebar di 477Lapas/Rutan. Kepadatan penghuni Lapas/Rutan secara nasional sudah berkisar di angka 145%, namun pada banyak penjara besar jumlah penghuni bisa mencapai angka 662% dari kapasitas yang tersedia.
Penghuni Lapas dan utamanya Rutan tentu saja bukan hanya terpidana, namun juga tahanan. Penahanan yang dilakukan pada tingkatan pra-persidangan yaitu pada tingkatan penyidikan dan penuntutan mencapai 34% dari jumlah total penghuni Lapas dan Rutan diseluruh Indonesia. Angka ini belum termasuk jumlah tahanan yang berada di dalam tahanan Kepolisian yang sampai saat ini jumlahnya tidak pernah diketahui
Besarnya penggunaan kewenangan penahanan pada tahapan pra-persidangan diakibatkan salah satunya karena kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan terlampau besar dan minim kontrol. Ada beberapa catatan terkait persoalan penahanan di Indonesia, yaitu :
Pertama, Kewenangan penyidik untuk menahan yang tak tersentuh. Penahanan di Indonesia terjadi secara Post Factum artinya penahanan terlebih dahulu terjadi barulah penahanan tersebut dapat dikomplain atau diuji. Sistem Penahanan di Indonesia tidak mengenal mekanisme filter dan kontrol terhadap kewenangan penahanan, tidak ada lembaga yang dapat mengawasi kewenangan penahanan yang dilakukan oleh penyidik, hal ini mengakibatkan penyidik benar-benar tidak tersentuh dalam melakukan penahanan.
Kedua, penahanan secara yuridis dapat dikenakan bagi delik yang diancam dengan pidana diatas 5 tahun. Saat ini untuk tindak pidana diluar KUHP saja, sampai tahun 2014, ada sekitar 443 jenis kejahatan baru dengan ancaman maksimum hukuman lebih dari lima tahun. Pengaturan besaran ancaman pidana di Indonesia yang tanpa arah dan Indikator memperburuk keadaan ini. Pembuat Undang-Undang seakan latah untuk membuat ancaman pidana setinggi mungkin tanpa sadar bahwa ancaman tinggi berarti membuka peluang penahanan semakin tinggi pula. Permasalahan ini terlihat dalam kasus-kasus UU ITE, misalnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang ancaman pidananya diatas 5 tahun, sedangkan di dalam KUHP untuk delik-delik penghinaan, tertinggi diancam dengan pidana 4 tahun.
Ketiga, Implementasi unsur keadaan kekhawatiran dalam penahanan. Dalam konteks pasal 21 ayat (1) KUHAP, dalam melakukan penahanan penyidik harus didasarkan pada adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran (i) tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, (ii) merusak atau mengilangkan barang bukti, (iii) atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. Seluruh penilaian ini dikembalikan kepada penyidik, sehingga secara subjektif penyidik tidak perlu membuktikan atau mempertimbangkan “keadaan” yang dimaksudkan. Hal ini membuktikan tidak ada pembuktian yang berimbang karena yang dapat membuktikan adanya kekhawatiran tersebut tentu saja penyidik, hal ini berhubungan dengan mekanisme uji dan komplain yang secara praktik tidak pernah membebankan pembuktian itu pada penyidik.
Keempat, Mekanisme komplain berupa Praperadilan tidak layak. Meskipun secara normatif hukum Indonesia mengakui adanya asas praduga tak bersalah, namun secara sistem, asas tersebut tidak dapat diimplementasikan secara baik, sistem penahanan di Indonesia tidak menyediakan mekanisme kontrol, filter dan komplain yang memadai baik secara regulasi maupun praktik di ruang sidang.
Dalam sistem penahanan di Indonesia, satu-satunya mekanisme komplain adalah Praperadilan, namun mekanisme ini sangat tidak efektif. Praperadilan menempatkan tahanan sebagai orang yang melakukan permohonan, ini mengakibatkan beban pembuktian terdapat pada pemohon, padahal seluruh penilaian dan kompetensi pembuktian ada pada penyidik. Selain itu, khusus penahanan untuk tersangka anak, praperadilan tidak lagi dapat digunakan
Kelima, Pembuktian timpang dan Prosedural. Berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, bukti yang cukup ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Hal ini menjadi langkah baik dalam memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan penyidik haruslah tepat, namun yang menjadi masalah adalah beban pembuktian dalam Praperadilan sebagai satu-satunya mekanisme komplain penahanan dibebankan pada pemohon, padahal yang bisa membuktikan adanya bukti permulaan yang cukup tersebut adalah penyidik sendiri. Selain itu secara praktik, Praperadilan didasarkan pada pembuktian yang sangat prosedural formal, hakim hanya memeriksa bukti-bukti formil seperti surat menyurat tanpa melakukan pembuktian pada substansi alasan penahanan lainnya.
Keenam, Mekanisme Komplain minim akses. Praperadilan juga didasarkan pada sebuah mekanisme beracara yang mengakibatkan bahwa pemohon yang awam dengan acara di peradilan harus memiliki pengacara, ini menunjukkan bahwa Praperadilan sangat susah untuk diakses oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki pengacara. Penelitian ICJR pada 2014, dari 80 Putusan Praperadilan Penahanan, 77 diantaranya diajukan oleh Pengacara, hanya 3 orang yang diajukan sendiri oleh tahanan, ini menunjukkan ketergantungan yang besar pada pengacara.
Pada intinya, kewenangan besar penyidik berbanding terbalik dengan regulasi dan mekanisme kontrol, filter dan komplain. Masalah ini tentu saja menimbulkan dampak yang besar, setiap kewenangan besar yang tanpa kontrol akan mengakibatkan adanya kesewenang-wenangan dan tingginya angka penahanan. Tingginya angka penahanan tentu saja berakibat langsung pada banyaknya jumlah penghuni dalam Rutan atau Lapas, hal ini, secara langsung menimbulkan overcapacity.
Untuk mengurangi beban Rutan dan Lapas akibat overcapacity maka pemerintah harus merombak total sistem penahanan. Sistem penahanan ini harus meliputi perbaikan dasar dan mekanisme kontrol, filter dan komplain penahanan. Perubahan regulasi menjadi angka mati untuk memperbaiki persoalan penahanan selama ini, termasuk Overcapacity dan masalah penahanan yang dipaksakan atau Kriminalisasi.