Sanksi Terhadap Anggota TNI/Polri atas Dasar Orientasi Seksual adalah Tindakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi Negara
Institusi Negara menindak personel berdasarkan orientasi seksual, hal ini diketahui melalui beberapa tindakan represif institusi TNI/Polri terhadap kelompok minoritas orientasi seksual. Munculnya kembali pembahasan ini dimulai dari pertanyaan dari Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) yang mengungkapkan adanya kelompok LGBT di tubuh TNI dan Polri.
Terkait dengan hal ini, kemudian pihak TNI menyatakan menolak keras LGBT yang dinyatakan telah dimuat dalam Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST No ST/398/2009 tanggal 22 Juli 2009 yang ditekankan kembali dengan Telegram Nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019. Hingga saat ini, ICJR belum berhasil menemukan dokumen aturan tersebut. Selanjutnya pun, pihak Polri juga melakukan penolakan terhadap kelompok LGBT, diketahui berdasarkan pemberitaan media, seorang perwira tinggi kepolisian dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi. Yang bersangkutan diperiksa karena diduga LGBT. Polisi juga menyatakan telah menindak tegas yang bersangkutan dan akan menindak tegas setiap personel Polri yang terlibat kelompok LGBT. Sebelumnya juga terdapat kasus di Polda Jateng, pemecatan anggota Polda Jawa Tengah dengan pangkat Brigadir karena pelanggaran kode etik yang diketahui berdasarkan orientasi seksual berbeda.
ICJR perlu menyatakan bahwa setiap diskursus tentang LGBT dalam bentuk stigma seperti yang dinyatakan berbagai institusi negara, sampai dengan keputusan represif tersebut adalah bentuk diskriminasi yang menyerang orientasi seksual dan ekspresi gender seseorang yang dilindungi oleh hukum dan konstitusi negara.
Diskriminasi atau pembedaan perlakuan jelas melanggar hukum dan konstitusi negara, termasuk diskriminasi terhadap LGBT. Konstitusi Indonesia telah menegaskan beberapa hak yang dimiliki warga negara, terkait kasus ini termasuk di dalamnya hak atas privasi, ekspresi dan paling penting perlakuan yang sama dihadapan hukum serta hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Khusus untuk persamaan di hadapan hukum yang telah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 j.o Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif yang telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, maka pembedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual jelas telah melanggar konstitusi negara. Atas dasar itu, maka segala tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan terlarang. Pengaturan yang memberikan pembedaan dalam kondisi tertentu diperbolehkan selama tindakan-tindakan tersebut bersifat khusus dan sementara yang dinamakan “affirmative actions” dan hanya dapat digunakan untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga tercapai perkembangan yang sama dan setara antar tiap kelompok masyarakat, seperti contoh perlakukan khusus untuk perempuan dan anak-anak. Sedangkan pembedaan yang dilakukan oleh TNI/Polri ini jelas bukan merupakan suatu affirmative action.
Polri juga seharusnya memperhatikan aturan internalnya sendiri, telah dimuat dalam Surat Edaran Polri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, bahwa ujaran kebencian salah satunya adalah penistaan yang memiliki tujuan dan bisa berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan, bertujuan untuk menyulut kebencian pada berbagai komunitas yang dibedakan, secara jelas Surat Edaran tersebut menyebut komunitas yang dibedakan tersebut termasuk berdasarkan gender dan orientasi seksual, ujaran kebencian terhadap kelompok berbasis hal tersebut harus dilarang. Justru pihak kepolisian lah yang harusnya melindungi kelompok minoritas orientasi seksual berbeda, bukan melakukan tindakan diskriminatif.
Atas hal tersebut, ICJR merekomendasikan kepada MA, TNI dan Polri sebagai institusi negara yang juga terikat pada instrumen Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Konstitusi untuk mengkaji ulang pernyataan-pernyataan menstigma dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, kemudian juga menghapuskan semua kebijakan internal yang memberikan stigma pada kelompok minoritas tertentu salah satunya berbasis orientasi seksual, lebih lanjut menganulir keputusan represif yang diberikan kepada anggota internalnya yang telah atau sedang dalam proses sanksi berbasis atas kebijakan yang diskriminatif.
Artikel Terkait
- 18/10/2017 Hakim Diminta Untuk Memberikan Putusan Rehabilitasi kepada Pengguna dan Pecandu Narkotika Sesuai SEMA 4/2010
- 20/05/2018 ICJR Meminta Pemerintah dan DPR tidak terburu – buru sahkan RUU Perubahan UU Terorisme
- 17/04/2015 Eksekusi Mati Karni Bt Medi Tarsim: Pemerintahan Presiden Jokowi Gagal Melindungi Warga Negara Indonesia
- 10/12/2019 A Game of Fate: Report on Indonesia Death Penalty Policy in 2019
- 06/08/2018 Three-Strikes Law ala RKUHP Berpotensi Memperburuk Overcrowding di Indonesia, ICJR Desak Pemerintah dan Pemerintah Tinjau Ulang Ketentuan Pengulangan Tindak Pidana di RKUHP
Related Articles
ICJR Apresiasi Putusan Bebas Stella Monica di Pengadilan Negeri Surabaya: Segera Revisi UU ITE dan Evaluasi Jaksa dan Polisi yang Bertugas
Stella Monica Hendrawan (SM) pada Januari 2019 sampai dengan September 2019 menjadi pasien Klinik Kecantikan L’viors. Pada Desember 2019, SM
Usut Tuntas Dugaan Korupsi di Komnas HAM!: Kembalikan Tugas Komnas HAM sebagai Ujung Tombak Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Komnas HAM menghadapi persoalan serius yang akan mempengaruhi tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara independen yang kuat dan mandiri, utamanya
Perlu Terobosan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual, ICJR dan IJRS Dukung Masuknya Mekanisme Victim Trust Fund atau Dana Bantuan Korban dalam RUU TPKS
Pembahasan RUU TPKS harus bertujuan utama untuk memberikan penguatan hak yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual. Hak korban tersebut harus