Senin, 4 April 2022 pagi, Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS DPR melanjutkan pembahasan RUU TPKS. Lalu dilanjutkan pada Pukul 13:00 WIB, pembahasan oleh Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin)
ICJR IJRS dan PUSKAPA mengamini bahwa pembahasan RUU TPKS telah memasuki tahap akhir. Namun, masih terdapat catatan substansi RUU TPKS:
- Mengenai Sinkronisasi Perumusan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual dengan Pelecehan Seksual Fisik, dan Perbudakan Seksual.
Pemerintah dan DPR menyepakati masuknya rumusan tentang eksploitasi seksual dalam RUU TPKS. Dengan dimasukkannya eksploitasi seksual, maka perumusan jenis-jenis tindak pidana dalam RUU TPKS harus kembali dibuka pembahasan, dan dilakukan penyesuaian. Sebelumnya telah disepakati DIM 73 tentang pelecehan seksual fisik dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya, DIM 74 tentang pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa, DIM 82 tentang pemaksaan perkawinan, dan DIM 100 tentang perbudakan seksual.
Jika dilihat dalam rumusan yang sudah disepakati dalam nomor-nomor DIM tersebut, terdapat ketidakjelasan mengenai tingkatan perbuatan yang dilarang, yang mana masing-masing perbuatan tersebut rumusan unsur pidananya mirip. Maka harus ditinjau ulang perumusannya. Kami merekomendasikan tingkatannya dari yang paling rendah sampai paling tinggi yaitu: tingkat 1 pelecehan seksual fisik (hanya 1 ayat: DIM 72), tingkat 2 eksploitasi seksual: pemanfaatan organ tubuh secara seksual berdasarkan relasi kuasa dengan adanya keuntungan materiil atau immaterial, tingkat 3 perbudakan seksual dengan bentuk perbuatan pemanfaatan organ tubuh secara seksual berdasarkan relasi kuasa dengan adanya keuntungan materiil atau immaterial disertai dengan pembatasan ruang gerak secara fisik, dan kemudian tindak pidana berbeda yaitu pemaksaan perkawinan.
Sedangkan, DIM 74 tentang pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa harus dihapus karena muatan dalam pasal tersebut tumpang tindih dengan substansi pada Pasal terkait Pemaksaan Perkawinan, yang sudah mengatur secara khusus dalam hubungan perkawinan. Kendati pun, dalam konteks hubungan di luar perkawinan, muatan pasal pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa (DIM 74) juga tumpang tindih dengan rumusan Pasal Perbudakan Seksual (DIM 100).
Perlu ditekankan pula pada rumusan Pasal Pemaksaan Perkawinan, harus juga memuat unsur yang jelas dan ketat soal ketiadaan persetujuan dalam perkawinan, yang spesifik, misalnya ketidakberdayaan korban, ketidakcakapan korban untuk memahami dampak dari terikat dalam suatu perkawinan serta perkawinan yang tidak diketahui oleh korban atau perkawinan yang dilakukan berdasarkan tipu daya, penjeratan hutang, ancaman kekerasan terhadap diri atau keluarganya.
- Mengenai pengaturan Barang Bukti menjadi Alat Bukti
Permasalahan mendasar dalam penanganan kekerasan seksual adalah sulitnya ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana acara dipenuhi oleh korban, sehingga diperlukan langkah-langkah progresif untuk menghadirkan pembaruan hukum acara pidana. Namun, yang perlu ditekankan upaya progresif dalam hukum acara yang perlu dilakukan adalah memberdayakan peran korban, namun tidak untuk menurunkan standar pembuktian dan jaminan hak atas peradilan yang adil. Dalam DIM No. 171, Pemerintah dan DPR menyepakati barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti. Argumen yang disampaikan pemerintah adalah bahwa di banyak negara tidak memisahkan Alat Bukti (AB) dan Barang Bukti (BB).
Namun, di negara tersebut terdapat fungsi hakim magistrat/ hakim pemeriksa pendahuluan yang menguji terlebih dahulu relevansi barang bukti tersebut untuk dapat digunakan dalam perkara/tidak. Sedangkan fungsi itu belum dimiliki dalam konsep KUHAP saat ini. Sehingga jika pun RUU TPKS mau memperkenalkan hal ini, harus terlebih dahulu adanya pembaharuan KUHAP. Pasal dalam DIM No. 171 jika diterapkan saat ini berpotensi untuk disalahgunakan dan melanggar prinsip KUHAP, orang dapat dengan mudah dipidana dengan bukti yang minim. Ilustrasinya, bukti saksi dengan barang bukti semisal pakaian pelapor saja bisa dapat dikatakan 2 Alat Bukti. Ketentuan ini membahayakan prinsip peradilan yang adil. Agaknya tidak perlu memasukkan rumusan DIM No. 171, cukup pengaturan 1 saksi diperbolehkan jika disertai dengan alat bukti lain, namun alat bukti lain dijamin menyertakan alat bukti visum psikiatrikum atau surat keterangan pemeriksaan psikologis korban.
- Mengenai Ketentuan Peralihan untuk menguatkan korban
Dalam ketentuan Peralihan RUU TPKS, perlu memasukkan aturan mengenai pemberlakuan segera ketentuan hukum acara dan perlindungan korban. Perlu ditekankan untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang telah dilaporkan dengan UU yang ada saat ini, ketentuan hukum acara dan hak korban mengikuti UU TPKS yang baru ini. Konsep sejenis diatur dalam Pasal 102 ketentuan peralihan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa pada saat UU tersebut telah berlaku, hukum acara perkara yang sudah masuk penyidikan akan diselesaikan dengan UU baru, namun tidak untuk perkara yang sudah masuk persidangan. Hal ini penting diakomodasi untuk menjamin kepentingan kemudahan korban, namun tidak untuk berlakunya delik/tindak pidana.
Jakarta, 4 April 2022
ICJR, IJRS, Puskapa