Satu Lagi, Reyndhart Rossy N. Siahaan Korban Kampanye Buta Anti Narkotika Pemerintah Indonesia
Perjuangan Reyndhart Rossy mendapatkan keadilan terpatahkan. Pada Senin, 22 Juni 2020 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang memutus bersalah Reyndhart Rossy dan menghukum Rossy selama 10 bulan penjara. Koalisi menyayangkan Majelis Hakim perkara Reyndhart Rossy yang tidak melihat dan menganalisis fakta-fakta persidangan secara menyeluruh. Kondisi Reyndhart Rossy yang menjadikan penggunaan ganja sebagai jalan terakhir sebagai pengobatan untuk menghilangkan rasa sakitnya dan tidak menggunakan ganja tersebut untuk kepentingan lain sayangnya tidak menjadi pertimbangan Hakim sama sekali. Dalam kondisi tersebut, Reyndhart Rossy seharusnya dapat masuk dalam kategori daya paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP dan oleh karena itu sudah seharusnya Reyndhart Rossy lepas dari seluruh tuntutan hukum.
Selain harusnya dilepaskan, putusan pidana penjara selama 10 bulan jelas mencederai rasa keadilan. Putusan ini bahkan melebihi masa tahanan yg sudah mencapai 7 bulan, dengan kata
lain Rossy masih harus menjalankan 3 bulan di penjara. Praktik seperti ini hanya akan semakin menunjukkan kegagalan kebijakan narkotika di indonesia dan memperlihatkan bahwa seseorang dapat dipenjara akibat negara tidak menyediakan akses pengobatan yang dibutuhkan warga negaranya.
Kasus Reyndhart Rossy harus membuka mata pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, bahwa perang terhadap Narkotika yang dikampanyekan sejak 2015 lalu telah menyeret Reyndhart Rossy sebagai salah satu korbannya. Reyndhart Rossy adalah contoh nyata
kebijakan perang terhadap narkotika yang rentan salah sasaran karena Pemerintah selalu membawa slogan anti narkotika, tetapi tidak pernah berani masuk ke ranah ilmiah untuk menjamin kepentingan publik yang lebih luas. Pemerintah harus mulai melakukan penelitian ilmiah tentang pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan dan menghapus larangan pemanfaatan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan dalam kebijakan narkotika.
Reyndhart jelas bukan yang pertama, dan pastinya tidak akan menjadi yang terakhir. Tanpa reformasi kebijakan narkotika dari Pemerintah, mau berapa Reyndhart Rossy lagi yang harus
dikorbankan?
—
Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
ICJR, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, Rumah Cemara, EJA, Yakeba, LGN
Artikel Terkait
- 23/11/2020 Penempatan Tersangka Berekspresi Gender Perempuan di Sel Laki-laki: Beresiko Tinggi dan Tidak Manusiawi!
- 02/11/2018 Menentukan Arah Kebijakan Narkotika: ICJR Dorong Pemerintah untuk Menggunakan Pendekatan Berbasis Bukti dalam Perubahan UU Narkotika
- 28/11/2017 Memperkuat Revisi Undang-Undang Narkotika Indonesia
- 01/08/2017 Kasus Fidelis: ICJR Sampaikan Pendapat Hukum kepada PN Sanggau
- 22/02/2017 Penanganan dan Dekriminalisasi Pengguna Narkotika dalam Revisi UU Narkotika
Related Articles
Kemenkes: Kembali Fokus Urus Kesehatan, Lupakan Cuitan!
Telah beredar surat Kementerian Kesehatan RI tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada pemilik akun twitter @aqfiazfan.
Pemerintah Tidak Jelas Soal PSBB, Tindakan Kepolisian Melakukan Penangkapan atas dasar PSBB Melanggar Hukum
Diketahui Polda Metro Jaya menangkap 18 orang di Jakarta Pusat pada Jumat malam 3 April 2010. Menurut keterangan Kabid Humas
Aparat Penegak Hukum Seharusnya Tak Bangga Menampilkan Perlakuan yang Merendahkan Martabat
Berbagai pelanggaran prinsip-prinsip fair trial masih terus terjadi dalam proses peradilan bahkan akhir-akhir ini aparat kepolisian dengan tidak malu-malu menunjukkan