Dua orang perempuan yang berprofesi sebagai pemandu karaoke mengalami kekerasan dari sejumlah warga di Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Berdasarkan pemberitaan di media, kedua korban diseret, ditelanjangi, dan dibuang ke laut. Terkait kasus ini, Satpol PP Lengayang memberikan pernyataan pada media bahwa dugaan motif penyerangan tersebut adalah karena adanya kafe yang membuka usaha karaoke saat Ramadhan. Selain itu, Satpol PP Lengayang menyatakan bahwa usaha karaoke yang dimiliki kafe tersebut tidak memiliki izin Bupati dan melanggar ketentuan Pasal 34, 35, serta 36 Perda Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 1 Tahun 2016. ICJR tegaskan sekalipun Kafe tersebut melanggar ketentuan Perda, tindakan main hakim sendiri apalagi dengan kekerasan harus dilarang. Pemda juga harus menekankan penegakan hukum perda bukan dengan tindakan main hakim sendiri apalagi dengan kekerasan.
ICJR ingin menyampaikan prihatin kami terhadap kedua korban. Kami berharap proses hukum berjalan dengan adil dan korban mendapat pemulihan yang terjamin.
Saat ini, proses hukum terhadap tindakan main hakim sendiri diketahui masih berada di tahap penyelidikan oleh Polres Pesisir Selatan. Kami tegaskan kasus ini sudah gamblang merupakan tindak pidana, sehingga harus segera dilakukan penyidikan.
Serangkaian tindakan para pelaku dari menyeret, menelanjangi, hingga membuang kedua korban ke laut memenuhi unsur berbagai pasal pidana sehingga ada beberapa ketentuan pidana yang dapat menjerat pelaku. Pelaku dapat dikenakan Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana kekerasan terhadap orang atau barang dengan ancaman pidana penjara 5 tahun 6 bulan, Pasal 336 KUHP tentang kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang dengan perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, serta Pasal 6 huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tentang pelecehan seksual fisik.
Perlu digarisbawahi bahwa penelanjangan yang dilakukan oleh beberapa pelaku terhadap kedua korban merupakan kekerasan seksual berbasis gender. Tindakan menelanjangi tersebut dilakukan untuk mempermalukan sekaligus menyerang kehormatan kedua korban yang berjenis kelamin perempuan. Sebagaimana Pasal 6 huruf a UU TPKS secara spesifik menyebutkan bahwa pelecehan seksual fisik dilakukan dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.
Telah jelas bahwa perbuatan tersebut tindak pidana dan merupakan kekerasan berbasis gender. Sehingga, pelaku-pelaku harus segera diproses dan korban selama proses penegakan harus dijamin keamanan, keselamatan, dan pemulihannya. Jangan sampai ada ancaman kembali untuk korban. Sekali lagi, sekalipun korban melanggar Perda, tidak ada justifikasi untuk tindakan kekerasan.
Selain itu, Perda yang disebut dilanggar yaitu Pasal 36 Perda Kabupaten Pesisir Selatan tersebut masih menggunakan istilah “Wanita Tuna Susila” yang bersifat menstigma dan diskriminatif, hal ini tak sejalan dengan CEDAW yang sudah diratifikasi Indonesia.
Untuk itu, ICJR mendorong agar Polsek Pesisir Selatan dan Polda Sumatera Barat menangani perkara ini dengan adil, melihat tindakan ini sebagai bentuk kekerasan, merujuk pada KUHP dan UU TPKS. Hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan juga harus dijamin. Kasus ini harus jadi cambuk bahwa jika tidak ditindak, kita hanya terus melanggengkan kekerasan dan diskriminasi berbasis gender.
Jakarta, 13 April 2023
Hormat Kami
ICJR