Dari berbagai isu yang muncul dalam Debat Capres pertama pada 12 Desember 2023, pandangan para capres terkait peradilan pidana masih belum menunjukan adanya solusi atau gagasan konkret yang menyertakan analisis perspektif gender. Beberapa Capres telah menyadari adanya kasus-kasus yang tidak memberikan keadilan pada perempuan. Misalnya, Capres 1 dalam pandangan visi-misinya menyebutkan tidak ada keadilan terhadap Mega Suryani Dewi atas kasus kekerasan dalam rumah tangga, hingga korban meninggal dunia. Kasus perempuan berhadapan dengan aparat penegak hukum juga disebut oleh Capres 3 dalam paparan visi-misinya bahwa, terjadi pemeriksaan oleh aparat atas pendapat yang disampaikan oleh Ibu Sinta (korban pembegalan yang malah menjadi tersangka karena melawan begal (Tirto, 2023)). Namun, narasi kasus-kasus tersebut, tak ada yang dielaborasi lebih lanjut pada rekomendasi untuk perbaikan dalam sistem hukum.
Spesifik untuk permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang disinggung oleh para Capres tersebut merupakan permasalahan yang memerlukan perspektif gender, khususnya sebagai diskursus perempuan berhadapan dengan hukum. Perempuan berhadapan dengan hukum seringkali tidak mendapatkan keadilan, seperti APH tidak ramah dan menyalahkan korban ketika pengaduan, paradigma polisi yang menyalahkan korban, dan perspektif maskulin lainnya yang menyebabkan sulitnya akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum.
Selain itu juga, permasalahan koordinasi antar kementerian dan lembaga merupakan masalah utama yang menyebabkan sulitnya keadilan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum. (Launching Policy Brief LBH APIK, 1/12/2023). Dari berbagai permasalahan tersebut, terdapat beberapa aspek yang dapat menjadi perhatian, seperti pembentukan aturan internal kepolisian yang mengatur prinsip, proses tindakan perlindungan, kelengkapan formil dan materil, yang belum sepenuhnya berperspektif gender.
Tak hanya dalam kacamata perempuan berhadapan dengan hukum, secara lebih luas. Sistem peradilan pidana masih abai terhadap kebutuhan kelompok rentan, seperti perempuan, anak, dan minoritas gender dan seksual lainnya. Padahal, terdapat peningkatan pertumbuhan perempuan terlibat dalam proses hukum (ICJR, 2019).
Untuk itu perlu untuk perlu ditekankan agar reformasi hukum dapat berfokus dalam menciptakan peradilan pidana pada keadilan gender serta memperbaiki peraturan-peraturan khususnya instrumen hukum seperti KUHAP untuk menghadirkan analisis dan pertimbangan gender yang tepat. Tidak hanya dalam segi aturan, komitmen untuk reformasi hukum, khususnya peradilan pidana, harus dengan kepemimpinan perempuan, dan pelibatan analisis gender yang substansial.
Jakarta, 13 Desember 2023
ICJR