Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,Pasal 28 ayat (2) dan Jo Pasal 45 merupakan ketentuan yang mulai digunakan dalam kasus-kasus penyebaran kebencian berbasis SARA. Walaupun ada ketentuan pidana dalam KUHP dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Diskriminasi Rasial), namun pasal-pasal dalam UU ITE jauh lebih mudah digunakan terkait Penyebar kebencian berbasis SARA di dunia maya.
Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Diskriminasi) khususnya di Pasal 4 dan Pasal 16 elemen utamanya adalah “kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis” atau “kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis”. Sedangkan KUHP umumnya digunakan pasal-pasal penyebar kebencian terhadap golongan/agama 156, 156 a dan 157.
Sedangkan jika menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya pasal 28 ayat (2) juga mememiliki unsur penting yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Berbeda dengan UU Diskriminasi, UU ITE menggunakan unsur SARA yang diterjemahkan dengan “suku, agama, ras, dan antargolongan” ini menunjukkan bahwa muatannya lebih luas lingkupnya di banding UU Diskriminasi. Karena tidak hanya mengatur etnas dan ras namun ada unsur kejahatan dalam frase “agama dan antar golongan”, yang tidak ada dalam UU Diskriminiasi tersebut.
Karena pasal 28 ayat (2) ITE merupakan pasal paling kuat bagi tindak pidana penyebaran kebencian di dunia maya di banding pasal-pasal pidana lainnya. Maka tren penggunaan pasal 28 ayat (2) ITE ditahun-tahun mendatang pasti lebih meningkat, ini karena elemennya lebih luas, dengan ancaman pidana yang lebih berat dan secara spesifik mudah menyasar penyebar kebencian berbasis SARA di dunia maya, dibanding UU lainnya.
Tabel 1. Pasal-pasal pidana terkait SARA
No | Regulasi | Keterangan |
1 | KUHP | Pasal 156 , 156 a, 157 KUHP |
2 | UU Diskriminasi | UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Pasal 4, dan 16 |
3 | UU ITE | Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 28 ayat (2) dan Jo Pasal 45 |
Di penghujung tahun 2016, Pasal ini akan digunakan dalam kasus dugaan penyebar kebencian berbasis agama dalam kasus Bu Yani, dan yang terbaru pasal-pasal dalam UU ITE ini kemungkinan akan digunakan menjerat penulis buku Jokowi Undercover yang diduga melakukan penyebar kebencian, Polri masih mengusut dugaan kejahatan tersebut.
Dalam pemantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Pasal UU ITE ini telah digunakan dalam berbagai kasus penyebar kebencian di Indonesia, berbeda dengan Pasal dalam UU Diskriminasi Rasial, yang belum pernah digunakan sama sekali dalam Pengadilan. Beberapa kasus yang menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE umumnya terfokus kepada penyebaran kebencian agama, dan belum pernah digunakan terkait kasus-kasus penyebar kebencian berbasis ras dan etnis, kasus tersebut yakni :
Pertama, kasus Sandy Hartono yang diadili Pengadilan Negeri Pontianak tahun 2011. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pontianak tanggal 20 September 2011 Nomor : 347/Pid.B/2011/PN.PTK ia terbukti membuat akun facebook palsu dan memasukkan gambar-gambar maupun kalimat yang berisikan penghinaan terhadap agama Islam. Ia di pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) karena dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA),
Kedua, kasus Alexander Aan yang diadili di Pengadilan Muaro Sumatera barat tahun 2012, berdasarkan putusan No 45 /PID.B/2012/PN.MR ia di hukum dua tahun penjara dan 3 bulan serta denda 100 juta karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)” berdasarkan putusan pengadilan ia terbukti telah Terdakwa telah membuat di Akun Facebook Terdakwa (Group Ateis Minang) yang bernama Alex Aan, email indesgate@yahoo.co.id berupa tulisan yang menghina agama.
Ketiga kasus, Kasus Muhamad Rokhisun yang diadili di pengadilanm negeri Pati tahun 2013, berdasarkan Putusan Nomor: 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt. ia pidana penjara selama: 5 (lima) dan denda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Ia terbukti Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”; dengan cara membuat status atau kata-kata yang menyerang serta menista agama.
Keempat, kasus I Wayan Hery Christian, ia divonis penjara tujuh bulan karena terbukti bersalah dalam persidangan di Pengadilan Negeri Palu. Putusan menyatakan bahwa ia terbukti melakukan tindakan penistaan agama melalui sarana informasi teknologi sesuai pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45 Ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE). Ia membuat status yang melecehkan di media sosial karena merasa terganggu suara takbir menyambut Idul Adha. Ternyata status I Wayan Hery tersebut tersebar luas di masyarakat dan akhirnya dilaporkan warga ke polisi. ia dan pihak keluarga juga telah meminta maaf kepada masyarakat luas atas perbuatannya.
ICJR mendorong penggunaan pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 UU ITE secara lebih cermat dalam situasi kekinian. Penggunaan pasal-pasal ini haruslah lebih presisi dan tepat, sehingga dapat secara efektif memberikan rasa keadilan bagi publik namun di sisi lain juga tidak membunuh kebebasan berekspresi warganegara.