Hampir 2 tahun sejak UU No 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan, namun baru 1 buah peraturan pelaksana yang selesai disusun oleh Pemerintah. ICJR mengingatkan bahwa masih terdapat 2 peraturan pelaksana lainnya yang terkait dengan kebijakan pidana yang diamanatkan oleh UU 5/2018 untuk segera dibentuk oleh Pemerintah maupun DPR.
Pasal 46B UU 5/2018 tentang Perubahan atas UU 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana harus dibentuk dalam waktu 1 tahun sejak 22 Juni 2018 yakni saat undang-undang tersebut diundangkan. Namun hingga saat inI, Pemerintah baru menyelesaikan 1 buah peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan. PP tersebut pun juga baru diundangkan pada 13 November 2019. Kesimpulannya, selama masa 1 tahun sebagaimana diamanatkan UU Terorisme, tidak ada satu produk peraturan pelaksana pun yang dibuat oleh Pemerintah maupun DPR. Padahal, masih terdapat 2 peraturan pelaksana lainnya yang terkait dengan kebijakan pidana yang juga perlu segera dibentuk, yakni Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Ganti Kerugian Untuk Korban dan Peraturan DPR tentang Pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme
Berdasarkan informasi terakhir yang diperoleh ICJR, peraturan pelaksana yang terkait dengan kebijakan pidana yaitu PP tentang ganti kerugian untuk korban tersebut masih dalam proses perumusan oleh Pemerintah. Sedangkan untuk pembuatan Peraturan DPR, masih belum terdapat perkembangan yang signifikan dari proses pembentukannya baik dari Komisi I, Komisi III, maupun Badan Legislasi (Baleg).
ICJR berpendapat bahwa Pemerintah saat ini perlu segera memprioritaskan pembentukan PP tentang mekanisme ganti kerugian untuk korban sebab terdapat batas waktu untuk mengajukan permohonan ganti rugi tersebut yakni maksimal 3 tahun sejak UU Terorisme diundangkan. Sehingga apabila hingga 22 Juni 2021 PP tersebut belum tersedia, maka para korban akan kehilangan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian. Dalam PP tersebut diatur bahwa para korban dari tindak pidana terorisme berhak untuk mendapatkan kompensasi, bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis. Mekanisme yang akan diatur meliputi tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian, pembayaran kompensasi, dan restitusi.
Kemudian terkait dengan Peraturan DPR tentang Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme (TPPT), ICJR yang bekerja sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU Terorisme telah membuat DIM Peraturan DPR tentang TPPT dan telah menyerahkan kepada DPR pada akhir Oktober 2019. ICJR juga secara khusus telah membuat kajian perbandingan tentang sistem pengawasan parlemen di berbagai negara dalam sebuah kertas kebijakan agar dapat digunakan sebagai rujukan dalam pembuatan Peraturan DPR tersebut. Namun hingga saat ini masih belum terdapat pembahasan untuk pembentukan Peraturan DPR tersebut di lingkungan DPR. Padahal, dengan adanya Tim Pengawas tersebut seharusnya kerja-kerja Pemerintah untuk isu terorisme dapat dilakukan pengawasannya oleh DPR, termasuk terhadap pembuatan peraturan pelaksana yang telah melebihi batas waktu yang ditentukan.
Terkait dengan hal tersebut, maka ICJR mengingatkan kembali PR Pemerintah dan DPR untuk segera membuat 2 peraturan pelaksana UU Terorisme di atas. Selain mengancam hak para korban untuk mendapatkan ganti kerugian, tidak tersedianya peraturan pelaksana juga jelas akan menghambat kerja-kerja penanggulangan terorisme di Indonesia.