Senin, 4 Mei 2020, Menteri Hukum dan HAM RI melantik Direktur Jenderal Pemasyarakatan baru, Irjen Reynhard, untuk menggantikan posisi Sri Puguh Budi Utami. ICJR menyampaikan selamat bertugas kepada Irjen Reynhard, dan mengingatkan terdapat beberapa pekerjaan rumah (PR) Pemasyarakatan, solusinya jelas tidak hanya dari pemasyarakatan sendiri.
Meskipun selama ini peran Pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana seringkali dianaktirikan, namun harus diakui bahwa Pemasyarakatan memegang salah satu peranan yang sangat penting di dalam sistem peradilan pidana (SPP). Pemasyarakatan menjadi pihak yang selalu terdampak dari masalah terbesar dalam SPP Indonesia yang telah berlangsung selama bertahun-tahun: overcrowding rutan dan lapas. Dengan dilantiknya Dirjenpas baru, kita semua berharap perubahan dan perbaikan akan dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih ada saat ini dengan solusi yang tepat dari Kementerian Hukum dan HAM, induk dari pemasyarakatan.
ICJR perlu juga mengapresiasi kinerja dari Dirjen PAS sebelumnya yang berhasil mempertahankan keterbukaan informasi khususnya pendataan dalam Sistem Database Pemasyarakatan dan akses pada penelitian lapangan. Serta deretan prestasi lain yang layak untuk dipertahankan dan diapresiasi.
Namun, dengan keterbatasan yang dimiliki, serta masih belum besarnya perhatian Pemerintah pada pemasyarakatan, ICJR mencatat ada beberapa pekerjaan rumah Dirjenpas baru yang tentu saja tidak jauh dari overcrowding. Terlalu sesaknya Rutan/Lapas di Indonesia mengakibatkan besarnya kemungkinan transaksi untuk memenuhi kebutuhan dasar yang dijadikan komoditas di dalam fasilitas. Tidak hanya itu, salahnya penanganan terhadap pengguna narkotika, juga menyebabkan WBP yang berasal dari tindak pidana narkotika mencapai 55% dari total WBP yang ada di Indonesia. Per Februari 2020, 47.122 orang pengguna narkotika harus dikirim ke penjara tanpa intervensi dan jaminan memadai terkait dengan kesehatan, hal ini berdampak pada terjadi peredaran gelap narkotika di rutan dan lapas di Indonesia, yang tidak pernah teratasi secara komprehensif. Dengan adanya kondisi overcrowding, lapas rutan menjadi tidak kapabel dalam menjalankan fungsi pemasyarakatannya, pembinaan tidak berjalan maksimal, kebutuhan dasar sekalipun sulit untuk dipenuhi, termasuk layanan kesehatan yang minim, membawa lapas menjadi sangat rentan, termasuk dalam kondisi pandemi. Masalah lainnya adalah mengenai warga binaan yang menunggu dalam deret tunggu pidana mati di Indonesia, lapas harus menjadi korban ketidakjelasan negara dalam menjamin peluang komutasi/ perubahan hukuman mati bagi terpidana mati yang sudah dalam deret tunggu lebih dari 10 tahun.
Memperketat Pengawasan Praktik Korupsi
Menteri Hukum dan HAM dalam kesempatan hari ini, menyampaikan harapannya agar Dirjenpas yang baru dilantik memastikan di lingkungan Menteri Hukum dan HAM tidak terjadi korupsi. Sebagaimana diketahui, korupsi menjadi momok di dalam Pemasyarakatan. Transaksi ilegal banyak terjadi di dalam rutan dan lapas, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar yang seharusnya terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas karena kondisi overcrowding yang tidak dapat teratasi. Lapas dan rutan seharusnya dihuni oleh warga binaan yang memerlukan intervensi penahanan dan pidana penjara, sehingga lapas dan rutan bisa memastikan sumber dayanya tercukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar penghuni dan menjalankan fungsi pembinaannya.
Pengguna dan Pecandu Narkotika dalam Rutan/Lapas, Pemasyarakatan Telah Terbeban
Per Februari 2020, jumlah pengguna narkotika di dalam lapas mencapai 47.122 orang, tak hanya itu, pengguna narkotika yang terjerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan narkotika harus juga diklasifikasikan sebagai bandar di dalam pemasyarakatan, bisa dipastikan bahwa pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas mencapai lebih dari 47 ribu orang. Sejak jauh-jauh hari lalu pemasyarakatan telah menangkap masalah besar terkait dengan hal ini, Menteri Hukum dan HAM pada 27 April 2019 meminta pengguna narkotika tidak dipenjara. Bahkan sudah diserukan wacana untuk memberikan amnesti masal kepada pengguna narkotika pada November 2019 lalu. Sebagai pengingat komitmen, maka dirjen PAS yang baru perlu bekerja sama dengan Menteri Hukum dan HAM percepat wacana ini, memastikan pengguna narkotika tidak dipenjara dan meminta presiden untuk memberikan amnesti masal kepada pengguna narkotika dalam rutan lapas.
Pandemi COVID-19: Rutan/Lapas Harus Kembali Bergerak
Overcrowding rutan dan lapas membawa dampak buruk bagi pemasyarakatan dalam situasi darurat termasuk pada situasi pandemi covid-19, dengan jumlah beban mencapai 205% Menteri Hukum dan HAM kemudian mengambil inisiatif untuk melakukan percepatan pengeluaran melalui pemberian asimilasi dan integrasi bagi WBP. Terlampau penuhnya rutan dan lapas menyebabkan kebutuhan dasar berupa pelayanan kesehatan tidak dapat diberikan secara maksimal. Tidak seimbangnya jumlah tenaga kesehatan dan minimnya biaya kesehatan tiap-tiap WBP juga tidak terhindarkan. Akhirnya, penyakit-penyakit yang sebenarnya masih dapat diobati menjadi tidak teratas dalam rutan dan lapas. . Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Dirjen Pemasyarakatan dan Menteri Hukum dan HAM adalah mempersiapkan pengeluaran dan pembebasan WBP yang difokuskan pada kelompok rentan atau dengan tingkat risiko tinggi terpapar Covid-19, seperti para lanjut usia (lansia), ibu hamil atau dengan anak, Anak, WBP dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius, WBP dengan kondisi gangguan jiwa yang serius, serta pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas. Pandemi ini mungkin akan berakhir, tapi tidak ada yang dapat memastikan wabah penyakit lain tidak akan terjadi lagi, yang menjadi catatan, kondisi pandemi ini harus menjadi bahan pembelajaran kementerian hukum dan ham untuk mengevaluasi kebijakan pidana untuk tidak menjadikan pemasyarakatan sebagai korban dalam sistem peradilan pidana.
Dalam Penerapan Pidana Mati, Pemasyarakatan Terdampak
Per Oktober 2019, jumlah terpidana mati dalam deret tunggu mencapai 271 orang. Dihitung per April 2020, sebanyak 60 orang terpidana mati di Indonesia telah duduk dalam deret tunggu diatas 10 tahun, bahkan 5 orang diantaranya telah berada dalam deret tunggu mencapai lebih dari 20 tahun, seorang terpidana mati bahkan telah berumur 82 tahun dan masih mendekam di penjara. Yang menjadi permasalahan kemudian lapas menjadi tempat penempatan terpidana mati, padahal lapas menjalankan fungsi pemasyarakatan dengan membina warga binaan untuk tujuan kembali ke masyarakat (reintegrasi sosial). Pada terpidana mati yang sudah dalam deret tunggu lebih dari 10 tahun, lapas dan rutan telah menjalankan pembinaannya, sehingga harusnya negara perlu menjamin adanya peluang komutasi/ perubahan hukuman mati bagi terpidana mati tersebut. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam rumusan pidana mati dalam RKUHP yang akan mengatur ‘masa percobaan’ untuk mengubah hukuman pidana mati. Jika serius sola komitmennya dalam RKUHP, maka pemerintah terlebih dahulu mengkomutasi 60 terpidana mati yang saat ini duduk dalam deret tunggu lebih dari 10 tahun.
Perlunya Penguatan Balai Pemasyarakatan dan Pembimbing Kemasyarakatan
Pembaruan hukum pidana harus diarahkan pada hadirnya optimalisasi alternatif penahanan dan alternatif pemidanaan non pemenjaraan. Komitmen RKUHP mendorong untuk mengurangi pidana penjara dan menghidupkan alternatif lain, maka peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai pengawas pelaksanaan intervensi di luar pemenjaraan perlu diperkuat. Dalam situasi pandemi atau darurat lainnya peran Bapas lewat pembimbing kemasyarakatan yang melakukan penilaian pada keberhasilan pembinaan mutlak diperlukan. Maka, masa depan reformasi sistem peradilan pidana bertumpu pada penguatan peran Bapas dan peran tenaga pembimbing kemasyarakatan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dilihat bahwa solusi yang akan berdampak positif bagi perbaikan Pemasyarakatan tidak dapat dilepaskan dari perlunya perbaikan hukum pidana dalam tataran kebijakan. Masalah-masalah yang dihadapi diatas tidak akan terselesaikan apabila evaluasi peraturan perundang-undangan tidak dilakukan dan dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan, beban-beban yang dihadapi oleh pemasyarakatan harus menjadi bahasan utama. Pemasyarakatan juga harus melihat bahwa solusi permasalahan ini adalah dalam tataran kebijakan, bukan hanya instrumen penyelesaian sesaat seperti pembangunan lapas baru, pengetatan pengawasan, pemindahan warga binaan dan sebagainya.
Yang harus dipastikan kedepannya adalah mengembalikan rutan dan lapas kepada fungsi idealnya, bahwa orang yang perlu ditahan dan dipenjara harus orang-orang yang sangat perlu untuk diasingkan dari masyarakat, bukan pengguna narkotika yang seharusnya diintervensi secara kesehatan, bukan terpidana dari kasus tindak pidana ringan yang seharusnya didorong untuk berusaha mengganti kerugian korbannya, ataupun bukan terpidana yang bisa diintervensi dengan alternatif pemidanaan lain seperti pidana percobaan dengan membayar ganti kerugian, pidana percobaan dengan syarat menjalani kerja sosial, ataupun jenis intervensi lain di luar pemenjaraan yang berdampak bukan hanya untuk pelaku, namun korban dan juga masyarakat. Pendekatan punitif, yang berfokus pada pemenjaraan, menjadi penyebab utama masalah sistem peradilan pidana.
Ditjen Pemasyarakatan, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, BPHN dalam nauangan Kementerian Hukum dan HAM harus menghadirkan solusi yang komprehensif, bukan parsial, langkah awal dapat dimulai dari percepatan revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi pengguna dan pencandu narkotika, menjamin RKUHP memuat alternatif pemidanaan non pemenjaraan yang beragam dan mudah untuk diterapkan, menghindarkan RKUHP dari overkriminalisasi dan menjamin adanya pembatasan dan pengawasan yang efektif bagi kewenangan penahanan dalam RKUHAP.