ICJR : Perma ini belum komprehensif mengatur soal Praperadilan . Perma Praperadilan justru harus mengakomodir seluruh permasalah di seputar Praperadilan termasuk pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Sejak 18 April 2016 Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dengan terbitnya Perma ini, maka mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK termasuk banding. Menurut MA hal ini untuk menghindari kesimpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh atau tidak pengajuan PK perkara praperadilan. Perma ini juga berisi tentang objek perkara apa yang saat ini dapat diajukan praperadilan, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang memperluas objek praperadilan menjadi melingkupi pula sah tidaknya penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melihat Mahkamah Agung dalam Perma telah mencoba menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan. Namun Perma ini belum cukup komprehensif dalam mengatur soal Praperadilan. ICJR justru merekomendasikan bahwa perma Praperadilan seharusnya mengakomodir seluruh masalah Praperadilan termasuk kondisi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 Terutama soal pembatasan hak Praperadilan bagi buronan (DPO).
ICJR merekomendasikan lebih lanjut beberapa pengaturan yang lebih rigid soal praperadilan yang mencakup:
Pertama, masalah terkait kepastian jangka waktu pelaksanaan Praperadilan. Saat ini tidak ada pengaturan lanjutan terkait jangka waktu Praperadilan. Antara praktik dan norma hukum terjadi disparitas yang cukup tinggi terkait jangka waktu pelaksanaan Praperadilan.
Kedua, masih dibutuhkan Pengaturan khusus terkait dengan hukum acara dalam Praperadilan. Secara umum Pengaturan mengenai hukum acara Praperadilan di dalam KUHAP kurang memadai dan tidak jelas, sehingga dalam praktiknya hakim banyak menggunakan pendekatan asas-asas hukum acara perdata. Akibatnya, seringkali muncul kontradiksi diantara dua hukum acara tersebut, yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum dan tidak menguntungkan bagi tersangka dalam memanfaatkan mekanisme Praperadilan. Mekanisme pengajuan praperadilan memang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam KUHAP.
MA harusnya memberikan perhatian khusus atas praktik hukum acara yang terjadi dalam Praperadilan. Ketidakpastian antara penggunaan hukum acara pidana atau hukum acara perdata dalam persidangan Praperadilan, harus diminimalisasi dengan hukum acara yang lebih pasti, termasuk prosedur-prosedur hukum acaranya maupun standar hukum pembuktian Praperadilan penahanan; termasuk Ketidakjelasan siapa pihak yang dibebankan untuk membuktikan dalam praperadilan tersebut, termasuk pula soal runga lingkup pembuktian 2 (dua) alat bukti yang sah.
Ketiga, perlu pengawasan secara umum terhadap praktik Praperadilan, ketersediaan informasi yang saat ini ada tidak signifikan baik dari akses informasi maupun laporan terkait praktik Praperadilan ini di tiap pengadilan; dan keempat perbaikan manajemen perkara Praperadilan di tingkat PN. Sistem manajemen yang saat ini ada umumnya harus dibenahiPermasalahan lain yang mengemuka dalam praktik Praperadilan adalah terkait dengan mekanisme beracara yang dipakai dalam sidang Praperadilan hingga kini belum menemui kata sepakat, apakah memakai mekanisme peradilan pidana, peradilan perdata atau memiliki mekanisme sendiri yang berbeda dari dua mekanisme peradilan sebelumnya