Tulisan ini berangkat dari kedukaan, kegelisahan dan upaya mengikat informasi dan fakta secara holistik atas kejadian penembakan gas air mata oleh aparat yang terjadi di dunia dan di Indonesia. Khususnya kedukaan atas jiwa dan keluarga yang terperangkap senjata kimia di stadion kanjuruhan yang mengakibatkan 782 korban yang tidak hanya dewasa, namun juga banyak korban anak, tercatat total korban yang meregang nyawa berjumlah 135 orang. Mata dunia tertuju pada Indonesia, karena dengan korban yang sebegitu banyak, Tragedi Kanjuruhan menjadi peristiwa sepakbola paling berdarah di Asia dengan pelaku yang divonis ringan atau bebas, pihak yang seharusnya bertanggungjawab tidak semua dihadapkan ke pengadilan, yang menambah kesedihan, seluruh restitusi pun diabaikan oleh Negara.
Keberpihakan aparat penegak hukum pada korban masih menjadi tugas rumah pemerintah. Tulisan ini akan menyajikan seluk beluk sejarah senjata kimia gas air mata di dunia, pengaturan pembatasan penggunaan serta pelarangannya berdasarkan berbagai regulasi. Dibahas juga bahaya akibat fatal penggunaan gas air mata bagi manusia dari dampak luka hingga kematian. Selain itu, akan ada pembahasan mengenai transparansi Negara atas anggaran pengadaan komponen gas air mata, dan inti dari tulisan ini yakni aspek criminal justice pada saksi dan korban penembakan gas air mata.
Dalam aspek perlindungan saksi dan korban, terdapat catatan. Kami juga menemukan adanya ancaman dan intimidasi kepada saksi dan korban serta bagaimana proses pemenuhan hak korban termasuk upaya pengajuan restitusi pada pihak ketiga yang tidak optimal. Sekelumit hambatan penegakan hukum juga
kami telisik, soal potensi pelanggaran berat HAM dalam kasus ini, dan terakhir, tulisan ini memuat rekomendasi bagi 10 pihak yang mewakili Negara yang diharapkan dapat mengambil sikap pasca putusan pengadilan dan mereka yang belum diseret ke pengadilan. Masih adanya penggunaan kekuatan berlebih dengan rezim senjata kimia patut dipertanyakan kembali. Esensi dan relevansinya di era non perang seperti sekarang perlu dikritisi. Terlebih lagi, keberpihakan aparat penegak hukum pada korban masih menjadi catatan yang sangat krusial. Perlu ada pengawalan reformasi kepolisan dan revisi hukum acara pidana di Indonesia.
Untuk itu, ICJR bekerjasama dengan Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan LBH Surabaya Pos Malang mengambil inisiasi untuk merawat ingatan Tragedi Kanjuruhan melalui tulisan ini, agar korban yang berjatuhan akibat penembakan gas air mata oleh aparat cukup berhenti sampai di sini.
Selamat membaca.
Unduh laporan di sini