Pada 23 Juni 2025, Badan Narkotika Nasional (BNN) menggelar konferensi pers terkait hasil operasi dari April hingga Juni 2025, yang mengungkap 285 tersangka kasus narkotika. Dari operasi tersebut, 10 persen yang tertangkap merupakan ibu rumah tangga (Kumparan, 2025).
ICJR telah lama menyoroti tingginya kerentanan perempuan, khususnya dalam konteks keterlibatan mereka dalam jaringan peredaran narkotika. Perempuan kerap menghadapi beban ganda—menjalankan tanggung jawab domestik sekaligus menjadi penopang ekonomi keluarga. Situasi ini diperparah oleh ketimpangan relasi kuasa dalam masyarakat yang turut memengaruhi pilihan-pilihan hidup mereka (ICJR, 2019). Sayangnya, sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum sepenuhnya mampu memahami dan merespons kerentanan ini. Akibatnya, perempuan tidak hanya terjerat dalam kasus narkotika, tetapi juga mengalami bentuk penghukuman berlapis dalam proses hukum yang mereka jalani.
Perempuan yang menjadi kurir narkotika seringkali tidak dilihat sebagai korban dari kondisi sosial dan ekonomi yang memaksa mereka terlibat, melainkan dianggap pelaku kriminal biasa. LBH Masyarakat juga menyoroti bagaimana perempuan direkrut melalui hubungan personal, seperti pacar atau suami, yang memanfaatkan kerentanan ekonomi dan psikologis mereka. Misalnya, kasus Merry Utami dan Mery Jane menunjukkan bagaimana perempuan dipaksa atau dijebak oleh pasangan atau jaringan narkotika untuk menjadi kurir tanpa pilihan lain demi memenuhi kebutuhan hidup (LBHM, 2024). Sistem hukum yang ada cenderung mengabaikan konteks kerentanan tersebut dan menghukum mereka secara penuh, sehingga perempuan menghadapi reviktimisasi dari eksploitasi jaringan dan ketidakadilan dalam proses peradilan. Penghukuman tersebut selalu terlegitimasi di bawah jargon usang “perang terhadap narkotika.”
Keterlibatan perempuan dalam peredaran narkotika sering kali hanya dipahami sebagai permasalahan moral atau pilihan pribadi, sedangkan kenyataannya lebih kompleks dan sistemik. Perempuan yang terlibat dalam narkotika umumnya menghadapi tekanan struktural yang serius yang membuat mereka rentan untuk dimanfaatkan oleh jaringan narkotika. Namun, kebijakan narkotika yang ada saat ini masih didominasi oleh pendekatan kriminalisasi yang berbasis moralitas, sehingga pasar gelap narkotika tetap ada karena pengguna narkotika tidak mendapat dukungan kesehatan dan sosial yang memadai. Akibatnya, situasi ini dimanfaatkan untuk menjerat perempuan dengan sejumlah keretanannya dan dijerat hukum dengan cara yang tidak adil. Pasar gelap narkotika terus tumbuh karena pendekatan lain tak digunakan dalam kebijakan narkotika di Indonesia.
Di sisi lain, dalam konteks perdagangan orang, perempuan kerap diposisikan sebagai komoditas yang dimanfaatkan untuk mendukung operasi jaringan peredaran gelap narkotika (Flentwood & Leban, 2022). Peran ini menunjukkan bagaimana perempuan seringkali dieksploitasi secara berlapis dalam tindak kejahatan terorganisir.
Data tahun 2025 mencatat terdapat 13.709 kasus perdagangan orang, dan sebanyak 11.245 kasus di antaranya melibatkan perempuan sebagai korban (Basis Data SIMFONI Kemen PPA, 2025). Angka ini menegaskan bahwa perempuan menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi, terutama dalam praktik-praktik kejahatan lintas sektor seperti narkotika dalam perdagangan manusia. Laporan Perdagangan Orang Dunia tahun 2024 juga menegaskan kerentanan perempuan menjadi korban perdagangan orang untuk terlibat dalam tindak pidana, salah satunya dalam peredaran gelap narkotika (UNODC, 2024).
Sudah saatnya perubahan kebijakan narkotika menempatkan dekriminalisasi pengguna narkotika sebagai salah satu pilar utama reformasi, serta menerapkan sistem pasar yang teregulasi untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ilegal yang eksploitatif. Melalui hal ini, negara dapat membangun mekanisme administrasi yang memungkinkan pendataan, pelayanan kesehatan, dan perlindungan sosial bagi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi, termasuk perempuan. Dekriminalisasi tidak hanya akan mengurangi beban hukum yang tidak proporsional terhadap perempuan, tetapi juga memutus rantai eksploitasi yang selama ini dijalankan oleh jaringan narkotika. Reformasi kebijakan narkotika yang mengakui kerentanan perempuan sebagai faktor utama dalam keterlibatan mereka sangat penting agar sistem hukum tidak lagi menghukum korban, melainkan memutus rantai eksploitasi yang terjadi akibat kebijakan yang keras dan tidak efektif. Dengan demikian, perempuan dapat menerima keadilan yang proporsional, sekaligus mencegah pemanfaatan berulang oleh jaringan narkotika.
Pentingnya revisi Undang-Undang Narkotika menjadi semakin mendesak karena pendekatan punitif yang selama ini diterapkan terbukti tidak mampu menyelesaikan akar persoalan peredaran gelap narkotika, apalagi melindungi kelompok yang paling rentan seperti perempuan. Revisi UU Narkotika harus menjadi momentum untuk meninggalkan kacamata penghukuman dan mengutamakan perlindungan hak asasi manusia, tata kelola, dan pengurangan dampak buruk. Negara tidak bisa terus mempertahankan kebijakan yang terbukti gagal yang justru memperluas pasar gelap dan menjerat kelompok rentan, termasuk perempuan.
Jakarta, 24 Juni 2025
Hormat Kami,
ICJR