Deretan masyarakat termasuk di dalamnya aktivis dikriminalisasi, buah dari aksi protes sepanjang akhir Agustus 2025. Berdasarkan catatan dari YLBHI per 5 September 2025 lalu, terdapat 3.337 orang ditangkap, sekitar 400 lebih orang masih dilakukan penangkapan. Diantaranya dilakukan penangkapan hingga penahanan adalah Laras Faizati, Khariq Anhar, Syahdan Husein dan Delpedro Marhaen. Pasal-pasal yang digunakan pada orang-orang tersebut terkesan dipaksakan, yaitu misalnya pasal penghasutan dalam KUHP, pasal akses ilegal, berita bohong, ujaran kebencian dalam UU ITE, dan juga tentang perlindungan anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa dalam UU Perlindungan Anak.
Lantas atas kriminalisasi tersebut, pada 2 September 2025 lalu Menteri HAM menyatakan bahwa pemerintah mengedepankan penggunaan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) dalam penanganan tuduhan tindak pidana para massa aksi yang ditangkap dan ditahan tersebut. Pernyataan tersebut juga disampikan oleh Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra saat bertemu para demonstran yang ditahan di Polda Metro Jaya pada Selasa 9 September 2025.
Lalu perkembangan selanjutnya, kuasa hukum Laras Faizati turut mengaku telah mengajukan permohonan RJ kepada penyidik dengan mengacu pada Peraturan Kepolisian No. 8 tahun 2021 (Perpol 8/2021).
ICJR sangat menyangkan pernyataan salah kaprah RJ yang terus digaungkan, bahkan disampaikan oleh jajaran menteri hingga menteri koordinator, dengan digunakan kembali Perpol 8/2021 yang secara substansi ICJR sudah memberikan catatan dan perhatian betapa tidak akuntabel dan bermasalahnya Perpol tersebut.
Kami menegaskan sejak awal, perbuatan aktivis yang menyatakan pendapat secara damai bukan merupakan tindak pidana. RJ sepanjang sejarah dan perkembangan ilmu pengetahun adalah mengenai penguatan hak korban, memberikan ruang bagi pelaku dan korban untuk melakukan mediasi penal, dan hanya bisa dilakukan secara tepat untuk tindak pidana dengan korban, serta memiliki kedudukan yang jelas siapa pelaku dan siapa korban. Jika sedari awal bukan tindak pidana, maka hentikan salah kaprah narasi ini bisa diselesaikan dengan RJ.
Catatan mendasar bahwa Perpol No. 8 tahun 2021 mengatur RJ dengan mereduksi RJ hanya sebagai penghentian perkara di luar persidangan, bahkan sesatnya bisa dihentikan di tahapan penyelidikan, tanpa safeguard yang mengatur bagaimana mediasi penal dapat dilaksanakan dengan akuntabel dan adil antara pelaku dan korban.
Bahkan yang parahnya, RJ dalam Perpol 8/2021 dilaksanakan atas syarat materiil yang sangat subjektif penyidik dalam Pasal 5, yaitu untuk tindak pidana yang tidak menimbulkan penolakan di masyarakat, memecah belah bangsa dan sebagainya yang sangat subjektif penilaian penyidik. Selain itu, pelaksaan RJ di penyelidikan dan penyidikan sama sekali tidak melibatkan pengawasan pengadilan, tidak ada penetapan pengadilan untuk memeriksa penyelesaian perkara dilakukan dengan adil.
Yang sangat kami tekankan, tuduhan terhadap Laras Faizati, Khariq Anhar, Syahdan Husein, dan Delpedro Marhaen perlu dikaji lagi: bukan merupakan tindak pidana melainkan ekspresi sah melakukan kritik. Oleh karena itu, tak bisa diselesaikan dengan RJ yang hanya bisa diterapkan untuk tindak pidana.
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional yang tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, bukan merupakan tindak pidana, sehingga tidak dapat diproses secara hukum. Dorongan pemerintah menggunakan RJ bagi aktivis justru meneguhkan salah kaprah konsep RJ, sekaligus mengaburkan kewajiban negara melindungi kebebasan berpendapat.
Maka dari itu, ICJR menyerukan:
1. Pemerintah dalam hal ini Presiden segera menyerukan pembebasan semua aktivis dan warga yang ditangkap dan ditahan tanpa dasar pidana yang jelas dan terkesan dipaksakan;
2. Pemerintah perlu meninjau dan menyelaraskan aturan internal polisi tentang RJ yang bertentangan dengan KUHAP, yaitu Perpol 8/2021, yang selama ini melanggengkan praktik salah kaprah RJ.
Jakarta, 12 September 2025
Hormat Kami,
ICJR