Kitab Undang – Undang Hukum Pidana adalah bikinan kolonial Belanda! Itulah doktrin yang terus menerus dirapalkan di banyak sekolah – sekolah hukum di seluruh Indonesia. Sayangnya doktrin itu tidak banyak menjadi bahan diskusi ataupun perdebatan di kalangan komunitas hukum. Seakan – akan doktrin itu menjelma menjadi wasiat yang harus diturunkan secara turun temurun dan tak bisa dibantah.
Diantara kitab – kitab hukum peninggalan Hindia Belanda, KUHP adalah satu – satunya undang – undang yang mendapatkan akta kelahiran resmi dari Pemerintah Republik Indonesia di 1946 dan 1957. Meskipun aslinya masih tertulis dalam bahasa Belanda, namun KUHP juga sudah beberapa kali disisipkan dengan artikel-artikel berbahasa Indonesia. Meski mendapatkan akta lahir, sayangnya KUHP yang digunakan secara luas di seluruh Indonesia bukanlah KUHP berbahasa Belanda namun KUHP terjemahan yang setidaknya memiliki 6 versi terjemahan. Persoalannya tak satupun terjemahan tersebut merupakan terjemahan resmi yang diakui oleh Pemerintah.
Upaya reformasi hukum pidana dalam bentuk rekodifikasi sejatinya bukanlah satu – satunya cara untuk membuat garis pemisah antara hukum kolonial dan hukum nasional. Ada cara – cara lain yang sebenarnya bisa dipertimbangkan tanpa harus membuat kerumitan prinsip dan juga teknis dalam upaya pembaruan hukum pidana. Upaya itu bernama “Amandemen”. Amandemen dapat menghindarkan dari lamanya waktu untuk pembahasan “KUHP Baru”. Dengan model amandemen, maka perubahan KUHP dapat dilakukan dengan cara mencabut atau menambah melalui UU terpisah terkait perubahannya. Artinya, perubahan tersebut langsung mengubah ketentuan di dalam kodifikasi. Dengan metode ini, berbagai permasalahan yang selama ini timbul atau akan timbul terkait pembaruan hukum pidana dapat diminimalisir.
Metode alternative perlu dipertimbangkan secara serius, terutama jika pembahasan R KUHP menjadi terlampau lama dan bertele – tele. Pembahasan yang terlampau lama juga bisa berakibat pada adanya kemungkinan kegagalan dalam pembahasan R KUHP.
Unduh Disini