Hingga hari ini publik masih membicarakan tentang represi yang dilakukan oleh anggota Polisi terhadap personel band Sukatani. Atas masifnya kritik tindakan polisi tersebut pada Jumat, 21 Januari 2025 malam hari, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri menyatakan telah meminta penjelasan dari anggota Direktorat Reseres Siber (Ditressiber) Polda Jawa Tengah terkait dugaan intimidasi tersebut.
Sebelumnya, Polda telah mengakui meminta klarifikasi ke Band Sukatani soal lagu “Bayar, Bayar, Bayar” yang memuat kritik terhadap kepolisian. ICJR menyerukan agar Propam bertindak tegas terhadap tindakan-tindakan memanggil orang tanpa dasar, yang oleh polisi sering disebut sebagai “klarifikasi”. Selain untuk kepentingan penegakan hukum, Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk memanggil dan meminta klarifikasi. Hal ini jelas sudah diatur dalam KUHAP, siapa dan bagaimana polisi dapat memanggil dan meminta keterangan dari seseorang.
Berbagai laporan media menginformasikan bahwa Sukatani sempat tidak bisa dikontak, sehabis dicegat oleh orang yang tidak mereka kenal. Setelah video minta maaf Sukatani pun, kedua personel tersebut tidak muncul berbicara di publik untuk menyuarakan haknya. Kondisi ini menciptakan iklim ketakutan dan merupakan tindakan represi, yang sama sekali tidak sejalan dengan KUHAP dan Konstitusi negara.
Untuk itu ICJR menyerukan agar Propam tak hanya selesai dengan memeriksa anggota Polda Jateng, namun harus menindak tegas upaya pelanggaran hak atas rasa aman dan penangkapan serta pembatasan ruang gerak yang sewenang-wenang yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian. Jika tindakan intimidatif dan sewenang-wenang itu terbukti, maka harus ada sanksi yang dijatuhkan pada anggota Polda yang terlibat.
Evaluasi Aturan Perlu Dilakukan Untuk Mengontrol dan Mengawasi Kewenangan Kepolisian
ICJR juga mengingatkan kecenderungan intimidasi, penangkapan atau yang sering disebut secara sewenang-wenang sebagai “pengamanan” tidak terlepas dari masalah akuntabilitas pelaksanaan kewenangan polisi dalam proses peradilan pidana. Terdapat sejumlah aturan internal polisi yang memberikan kewenangan kepada kepolisian terkait hukum acara pidana tanpa dasar dan bahkan bertentangan dengan KUHAP.
KUHAP telah menyatakan bahwa penangkapan yang merupakan pembatasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan dalam kerangka penyidikan, ataupun dalam konteks tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Pembatasan kemerdekaan dalam KUHAP oleh penyidik hanya dapat dilakukan atas adanya bukti permulaan yang cukup. Namun, dalam Perkap 6/2019 tentang Penyidikan tindak pidana, dalam proses penyelidikan (sebelum penyidikan) tindakan-tindakan pembatasan tersebut justru diperbolehkan.
Selain itu, juga terdapat aturan internal polisi yang bertentangan dengan KUHAP yaitu Perpol 8/2021 tentang Keadilan Restoratif. Dalam aturan ini dijelaskan penyelesaian tindak pidana UU ITE dapat dilakukan pada tahap penyelidikan. Caranya dengan terduga pelaku untuk minta maaf. Secara prinsip, keadilan restoratif adalah pendekatan penanganan perkara pidana, maka harus pula dilakukan terhadap tindak pidana. Sedangkan jika dilakukan di tahap penyelidikan (saat peristiwa pidana belum terkonfirmasi) akan menjadi rancu karena pada tahap penyelidikan belum ada perkara pidana.
Proses penyelidikan baru pada tahap memeriksa apakah suatu peristiwa hukum adalah peristiwa pidana. KUHAP sama sekali tidak memperbolehkan penghentian perkara di level penyelidikan. Tindakan-tindakan kepolisian di penyelidikan seperti menyuruh minta maaf ini, mengakibatkan tidak adanya pengawasan dan dapat berpotensi menjadi bentuk intimidasi pada orang, padahal perbuatannya pada dasarnya tidak melakukan tindak pidana. Hal ini ICJR temukan dalam peristiwa yang menimpa Sukatani.
Untuk itu, ada 2 hal yang harus dilakukan Kapolri saat ini:
Pertama, tindak tegas pelanggaran HAM oleh anggota Polda Jateng yang melakukan pelanggaran HAM hak atas rasa aman dan bebas dari penangkapan sewenang-wenang.
Kedua, mengevaluasi aturan internal yang tidak sejalan dengan KUHAP yang melanggengkan praktik ini, yaitu Perkap 6/2019 dan Perpol 8/2021, kedepan, evaluasi ini juga perlu direspon pembentuk undang-undang dalam pembahasan KUHAP untuk memastikan kontrol dan pengawasan terhadap kewenangan penyidikan, dan pembatasan penyelidikan.
Jakarta, 22 Februari 2025
Hormat Kami,
ICJR