Institute for Crimina Justice Reform (ICJR) menyatakan keprihatinan mendalam dengan sikap beberapa Fraksi di Badan Legislasi DPR yang saat ini masih berencana untuk mengamandemen UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, walaupun RUU KPK sudah dihapuskan DPR dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2013.
Dalam Rapat Baleg pada 6 Oktober 2015 lalu beberapa anggota Dewan justru masih berusaha meyakinkan amandemen adalah jalan yang perlu ditempuh untuk memperkuat KPK. Fraksi mengusulkan agar revisi UU KPK masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2015, bahkan dalam pembahasan kemarin RUU ini diubah, dari sebelumnya inisiatif pemerintah, diusulkan menjadi inisiatif DPR.
Dalam rapat kemarin sejumlah anggota DPR masih memanfaatkan mengungkit amandemen dan mendiskusikan beberapa rancangan terbaru mengenai revisi UU KPK. Dalam draft tersebut ICJR meilihat hal-hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK. Bahkan menurut ICJR ada niat untuk membajak KPK dalam pasal-pasal Revisi tersebut. beberapa hal krusial terutama yakni:
Pertama, KPK sengaja dibuat secara adhoc, (sementara waktu) dengan jangka waktu yang terbatas. Ketentuan ini Menyederhanakan masalah penanganan korupsi Indonesia, seakan-akan masalah korupsi yang dapat diselesaikan dengan 12 tahun Ketentuan ini juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dll (sesuai fungsi KPK).
Kedua, Kewenangan KPK sengaja dibuat secara terbatas hanya untuk menangani kasus – kasus korupsi paling sedikit 50 milyar. Kondisi ini akan mengecilkan jumlah kasus yang akan di tangani oleh KPK
Ketiga, naskah DPR membuat struktur “dewan eksekutif “ di KPK, berada di bawah Komisioner, pilihan ini tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga Negara dan justru membuat birokrasi baru. Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan-komisioner KPK.
Berdasarkan hal-hal tersebut, ICJR melihat materi dalam naskah RUU revisinya yang diinisiasi oleh DPR sudah pada taraf digunakan untuk melemahkan atau membajak KPK. ICJR merekomendasikan DPR sebaiknya menghentikan seluruh inisiatifnya untuk merevisi UU KPK. Baik dari segi Momentum dan keutuhannya Revisi UU KPK belum diperlukan.
Masalah krusial |
Pasal RUU Revisi 2015
|
|
KPK sengaja dibuat secara adhoc, (sementara waktu) dengan jangka waktu yang terbatas.
Ketentuan ini Menyederhanakan masalah penanganan korupsi Indonesia, seakan-akan masalah korupsi yang dapat diselesaikan dengan 12 tahun
Ketentuan ini juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dll (sesuai fungsi KPK)
|
Pasal 5.
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan |
|
Pasal 73.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berakhir setelah 12 tahun sejak diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia |
||
Kewenenagan KPK hanya terbatas kepada Korupsi paling sedikit Rp. 50 milyar.
Kondisi ini akan mengecilkan jumlah kasus yang akan di tangani oleh KPK.
|
Pasal 13.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, tindak pidana korupsi yang: (b) menyangkut kerugian negara paling sedkit Rp 50.000.000.000,00 (c) dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara drngan nilai dibawah 50.000.000.000, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. |
|
Pilihan untuk membuat struktur “Dewan Eksekutif “ tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga Negara dan justru membuat birokrasi baru.
Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan-komisioner KPK
|
Pasal 22
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas: Dewan Eksekutif yang terdiri dari 4 anggota |
|
“Dewan Eksekutif” yang hanya di angkat dan di berhentikan presiden, juga akan memberikan ruang intervensi yang besar dari eksekutif kepada KPK
|
Pasal 23
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dibantu oleh Dewan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh Panitia Seleksi Pemilihan (6) Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh presiden. |
|
Pasal 24
Dewan Eksekutif berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dan melaporkannya kepada Komisioner Komisi Pemberantasan |
||
Pengaturan Dewan Kehormatan yang berlebihan | Pasal 39
(1) Dalam melaksanakan tugas dan penggunaan wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi maka dibentuk Dewan Kehormatan (2) Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk tegoran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK (3) Dewan Kehormatan bersifat AdHoc yang terdiri dari 9 anggota, yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur dari unsur aparat penegak hukum dan 3 orang unsur dari masyarakat. |
|
KPK tidak memerlukan SPDP karena penyidikan yang dilakukannya sudah bersifat khusus dan terbatas
|
Pasal 52
(2) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut wajib memberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan |
|
Penindakan KPK secara materi dan administrasi sangat tergantung kepada usulan Pihak ketiga, KPK harusnya diberikan mandat secara khusus untuk mengangkat penyidik atau penuntutnya sendiri.
|
Pasal 45
(1) Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 (3) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan dari kepolisian atau kejaksaan |
|
Pasal 53
(3) Penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. |
||
KPK harusnya tetap dalam posisi kekhususannya dalam hal memastikan suatu kasus Korupsi, memberikan kewenangan SP3 justru mengurangi tingkat kekhususan penyidikan KPK. KPK pada prinsipnya tidak boleh menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara yang sudah ditetapkan oleh KPK sebagai objek penyidikan. |
Pasal 42. Komisi Pemberantasan Korupsi BERWENANG MENGELUARKAN Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP |