Aturan praperadilan masih tidak cukup jelas, ICJR dorong pembentukan Hukum Acara Praperadilan
Beleid praperadilan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 adalah untuk menjamin hak – hak tersangka yang sedang dalam upaya paksa. Hak – hak ini meliputi penetapan tersangka. Penangkapan, penahanan, dan bentuk – bentuk upaya paksa lainnya.
Baru – baru ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau sedang dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO). Secara umum dalam surat edaran ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa orang yang dalam keadaan buron tidak dapat mengajukan praperadilan begitu juga apabila permohonan itu diajukan oleh penasihat hukum atau keluarganya maka permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
ICJR mendukung dan mengapresiasi langkah Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No 1 Tahun 2018 tersebut, terutama untuk melengkapi ketidaksempurnaan pengaturan hukum acara praperadilan. Selain itu SEMA tersebut dibutuhkan untuk menetapkan status orang – orang yang dalam keadaan buron namun berupaya untuk mengajukan perlawanan hukum di Pengadilan.
ICJR mengingatkan, bahwa Hukum Acara Praperadilan tetap harus dibentuk, mengingat masih banyaknya kekosongan hukum yang terjadi dalam Praperadilan. Kekosongan hukum ini harus diisi mengingat lembaga praperadilan merupakan pranata penting untuk menjamin hak – hak tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana.
ICJR juga mengingatkan bahwa paska disahkannya UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, lembaga prapadilan tidak lagi kompatibel dalam pengaturan jangka waktunya, khususnya terkait dengan upaya paksa. Karena itu ICJR mengingatkan potensi besar penyalahgunaan hukum terhadap anak – anak yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana jika hukum acara praperadilan tidak segera dibenahi.
Pengaturan secara paripurna hukum acara praperadilan diperlukan mengingat banyaknya ketentuan baru yang dapat dianggap sebagai bagian dari upaya paksa namun tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.