Berdasarkan pemberitaan yang dilangsir dari beberapa media, pemerintah akan sekali lagi menerapkan pembatasan media sosial. Kebijakan ini akan dilaksanakan menjelang sidang putusan gugatan hasil pemilihan presiden 2019 oleh Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat, 28 Juni mendatang. Pembatasan layanan media sosial tersebut akan dilakukan jika mesin pengais konten negatif (AIS) menemukan banyak berita hoaks yang dapat menimbulkan keributan dan adu domba di masyarakat. Pelaksana Tugas Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu, menyatakan bahwa apabila diperlukan, pembatasan akan dilakukan tanpa pemberitahuan kepada masyarakat mengingat kondisi yang mendesak.
Atas rencana pembatasan tersebut, ICJR kembali mengingatkan bahwa pembatasan layanan media sosial tidak diperlukan dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Pernyataan kami didasari oleh tiga alasan berikut:
Pertama, pembatasan layanan media sosial ini bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi. Pembatasan yang dilakukan terhadap media sosial telah menghambat masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kedua, meskipun kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang dapat dibatasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005, namun pembatasan tersebut harus diuji validitasnya melalui uji tiga rangkai (three part test), yaitu: Pertama, pembatasan harus secara jelas diatur dalam peraturan; Kedua, pembatasan harus dilakukan untuk melindungi hak dan reputasi orang lain, keamanan nasional, ketertiban umum, dan kesehatan atau moral publik; Ketiga, pembatasan harus dengan cara seminimal mungkin (proporsional). Pembatasan layanan media sosial melalui pencekikan akses internet (internet throttling) untuk membatasi berita hoaks semata adalah tindakan yang berlebihan dan dapat merugikan kepentingan masyarakat lainnya, seperti berkomunikasi dan bekerja (media sosial telah berkembang menjadi sarana untuk mencari penghasilan)
Ketiga, pembatasan akses terhadap media sosial tanpa pemberitahuan sebelumnya, sebagaimana yang diungkapkan Plt. Kepala Humas Kominfo, adalah tidak tepat. Pasal 4 ICCPR memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar atau dari dalam negeri. Ancamannya dapat berupa ancaman militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat.
Dalam Komentar Umum No. 29 terhadap Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia yaitu: Pertama, situasinya harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan Kedua, Presiden harus penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden. Penetapan ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004 silam untuk mengumumkan keadaan darurat di Aceh. Meskipun begitu, tindakan-tindakan pembatasan HAM harus ditentukan batas-batasannya yang jelas beserta ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dengan merugikan kepentingan yang lebih luas.
Berdasarkan atas hal ini, maka ICJR merekomendasikan tiga hal kepada Pemerintah yaitu:
Pertama, pemerintah sebelum mengambil kebijakan pembatasan layanan media sosial harus benar-benar mengkaji batas-batasannya yang jelas dan sesuai dengan ketentuan dalam three-part test agar tidak membuka peluang terjadinya merugikan hak dan kepentingan masyarakat yang lebih luas, seperti komunikasi dan aktifitas ekonomi melalui media sosial.
Kedua, apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagaimana diatur dalam ICCPR, maka Presiden harus membuat penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.
Ketiga, apabila suatu keadaan tidak termasuk keadaan darurat namun pemerintah merasa perlu untuk menetapkan suatu kejadian tertentu yang menyebabkan pembatasan HAM, maka tindakan tersebut seharusnya merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi di Indonesia, sehingga kebijakan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan hukum dan bukan kebijakan politis
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan