Sabtu, 25 Januari 2014, diwakili penelitinya Erasmus A.T. Napitupulu, ICJR mengisi Kuliah Hukum Terbuka (Khubuka) III Universitas Wiraswasta Indonesia (UWIN) Jatinegara, dengan tema “Hukum Penyadapan/Intersepsi di Indonesia”. Indonesia membutuhkan suatu payung hukum yang satu terkait makanisme penyadapan di Tanah air, begitulah sepenggal kesimpulan dari hasil kuliah umum tersebut.
Sejak Putusan MK No. 5/PUU-VIII/ 2010 hadir, buah Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945 oleh Anggara Suwahju dkk., isu mengenai penyadapan atau intersepsi di Indonesia memang semakin menghangat. Pada dasarnya perdebatan mengenai penyadapan telah bergesar dari perdebatan mengenai penggunaan metode ini kepada bagaimana bentuk pengaturan yang tepat. Hal tersebut disebabkan penggunaan metode penyadapan sudah tak terelakkan lagi hadir dalam membantu aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang sulit terungkap, namun dilain sisi pengaturannya masih carut marut.
Sebagai bagian dari upaya paksa, maka ICJR menilai penyadapan harus masuk dalam rantai sistem peradilan pidana yang pengaturannya holistik dalam satu aturan dengan pengaturan hukum acara pidana di Indonesia. Pada awal 2013 Pemerintah akhirnya menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R KUHAP) kepada DPR RI, penyadapan pun disebut.
Penyadapan di R KUHAP diatur dalam Bagian Kelima tentang Penyadapan pada Pasal 83 dan 84. Secara garis besar Inisiatif pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP harus diapresiasi, namun sayangnya Rancangan KUHAP justru tidak mengatur hal – hal lain yang menjadi kunci atas validitas penyadapan diantaranya adalah (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, (iv) adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil penyadapan, dan (ix) mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lain nya.
Lemahnya pengaturan penyadapan dalam R KUHAP diperburuk dengan keadaan pembahasannya di DPR. Selain lemahnya partisipasi publik, konstelasi pemilu 2014 dan transisi masa jabatan DPR juga turut serta dalam menyita waktu dan perhatian DPR. Hasilnya, pembahasan R KUHAP di DPR berjalan setengah hati. Padahal, dengan waktu yang semakin singkat, secara kuantitas jumlah pasal dan daftar isian masalah (DIM) yang harus dibahas cukup banyak (1.169 daftar isian masalah). Secara kualitas, materi yang dibahas juga sangat kompleks dan berdampak luas pada struktur hukum serta hak asasi manusia.
Untuk itu dalam kesempatan yang sama, ICJR mendorong agar dihentikannya pembahasan R KUHAP di DPR RI dalam periode 2009 – 2014. ICJR berharap, R KUHAP dapat dibahas dengan lebih serius dan merangkul berbagai pihak pemangku kepentingan untuk Periode Legislatif 2014 – 2019 mendatang, termasuk mengenai isu penyadapan.