Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK memberi tafsir kata ‘segera’ dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP. Pasal 18 ayat (3) KUHAP menyebutkan “tembusan surat perintah penangkapan scbagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”
Dalam putusan tersebut, MK menyebutkan bahwa ‘segera’ harus dimaknai selama 7 hari. Tafsir MK tersebut artinya mengubah pemaknaan Pasal 18 ayat (3) KUHAP menjadi Tembusan Surat Perintah Penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari 7 hari.
Dalam pertimbangannya, MK hanya mendasarkan pada perbedaan jarak, cakupan dan kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia yang mengakibatkan kemungkinan dibutuhkan jangka waktu yang lebih dari 3 x 24 jam, sehingga dianggaplah waktu 7 hari merupakan tenggat waktu yang logis.
Anggara, Ketua Badan Pengurus ICJR mengkritik keras putusan dan pertimbangan MK tersebut, karena waktu 7 hari yang telah ditetapkan MK tersebut terlalu lama untuk sekedar memberikan surat tembusan pada keluarga tersangka. Anggara menyatakan bahwa bagaimana mungkin jangka waktu penangkapan adalah 24 jam namun surat tembusan penangkapan malah menjadi maksimal 7 hari
Dirinya menambahkan, dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP telah menyebutkan bahwa petugas harus memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan ‘yang mencantumkan identitas tersangka’. Dengan adanya identitas tersangka tersebut berarti petugas telah melakukan penyidikan dan penyelidikan terlebih dahulu, sehingga seharusnya petugas sudah mengantisipasi kemungkinan perbedaan jarak, cakupan dan kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia.
Lebih lanjut Anggara menyebutkan bahwa selama ini masalah kontrol pada tindakan atau upaya paksa oleh penyidik sangat minim, memberikan tenggat waktu selama 7 hari sama saja memperluas kemungkinan adanya kesewenang – wenangan karena penggunaan kewenangan yang tidak terawasi dan semakin mempersempit ruang kontrol bagi aparat penegak hukum.
Praktek – praktek penegakkan hukum yang buruk justru dilegitimasi oleh MK dengan “jangka waktu 7 hari” untuk menafsirkan kata segera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP. Karena syarat penangkapan yang diatur dalam KUHAP sangatlah sederhana dan sama sekali tidak mensyaratkan adanya hak atas penasihat hukum (the rights to legal counsel) atau bantuan lain yang terkait dengan penangkapannya tersebut.
ICJR memperkirakan dengan keluarnya Putusan MK ini, bahwa besar kemungkinan, keluarga tersangka yang dilakukan penangkapan semakin tidak akan mendapatkan informasi dengan segera mengenai keberadaan anggota keluarga yang ditangkap dan tidak dapat memberikan bantuan yang diperlukan dengan segera kepada anggota keluarga yang ditangkap tersebut.