Guna melanjutkan kegiatan riset dan advokasi ICJR terkait praktik praperadilan di Indonesia, pada 21-22 Desember 2013, dilakukanlah konsinyering bertema “Mempersiapkan Pedoman Penahanan dan Praperadilan” di Bogor. Hadir dalam acara ini Hakim Agung Andi Samsan Nganro dan Hakim Agung Salman Luthan, serta Praktisi senior Luhut M. Pangaribuan. Kesimpulan singkat dari diskusi tersebut adalah dibutuhkannya suatu pedoman, terkhusus bagi Aparat penegak hukum dan Hakim, guna terciptanya satu kesatuan pandang terkait penahanan dan praperadilan penahanan.
Sejak 2011 sampai dengan 2012, ICJR telah membuat riset mengenai Penahanan dan Efektifitas Pra Peradilan di Indonesia. Riset ini telah dikerjakan dengan melibatkan berbagai pihak yang terlibat dalam upaya paksa penahanan diantaranya dengan Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, LSM, dan juga berbagai pihak yang lain yang memiliki ketertarikan yang sama dengan Penahanan Pra Persidangan di Indonesia.
Hasil riset ICJR menunjukkan, bahwa ada kebutuhan untuk mengganti mekanisme kontrol yang ada saat ini, praperadilan, melalui Perubahan KUHAP yang saat ini tengah dibahas di DPR. Namun, untuk saat ini ICJR berupaya memperbaiki situasi dan lembaga yang ada untuk dapat meminimalisir penggunaan penahanan pra persidangan tersebut, salah satu cara adalah dengan mengupayakan adanya pedoman Penahanan dan Praperadilan tersebut.
Hakim Agung Salman Luthan menyebutkan bahwa perlu untuk menindaklanjuti pedoman ini. Dirinya menyebutkan, setidaknya untuk keadaan saat ini perlu untuk menambah satu prinsip dalam penahanan yaitu prinsip penahanan minimal. Terdakwa memiliki hak untuk segera diperiksa oleh penyidik dan secepatnya diserahkan kepada penuntut umum. Hak terdakwa juga, apabila sudah diperiksa oleh penuntut umum untuk secepatnya diserahkan pada pengadilan.
Salman Luthan menyebutkan bahwa perlu ada prinsip penahanan minimal untuk memenuhi hak tersangka agar lebih cepat diproses baik oleh penyidik, penuntut umum maupun oleh hakim. Hakim Agung Andi Samsan Nganro kemudian menambahkanpemahaman terkait salah satu fungsi yang harusnya tidak kurang dari pra-peradilan, yaitu mengenai perpanjangan penahanan. Sebab ratio pembuat UU menghadirkan praperadilan adalah untuk mengkontrol. Beliau menegaskan, Idealnya, apabila memang Ketua pengadilan yang memperpanjang, maka Ketua pengadilan juga harus diberi kewenangan secara materiil untuk meminta pertanggung jawaban dari yang menahan.
Luhut M. Pangaribuan mencoba memaparkan bahwa saat ini masyarakat tidak sadar bahwa penahanan bagian dari penyidikan, dan penyidikan bagian dari system pra peradilan. Saat ini, menurutnya system peradilan pidana sering diacuhkan, sehingga, control terhadap kewenangan Negara sering tidak diperhatikan. Konsep Sistem Peradilan Pidanai dalam perkembangannya banyak mendapatkan kritikan, sehingga HAM menjadi unsure yang penting masuk dalam KUHAP, tetapi saat ini tidak berjalan sebutnya.
Pangaribuan menambahkan, dahulu sudah ada penelitian tentang penahanan pra persidangan selalu prejudice terhadap proses selanjutnya, bagaimana penahanan mempengaruhi sampai hukuman. Apabila terdakwa dihukum lebih panjang, ada ketakutan hakim bahwa terdakwa akan mengajukan banding sehingga merepotkan hakim. Penahanan mempengaruhi bahkan sampai putusan.
Efektifitas praperadilan sebagai mekanisme komplain memang menjadi permasalahanan utama dari lembaga ini. belum sinerginanya pandangan dari aparat penegak hukum dan Hakim mendorong perlu adanya suatu kejian mendasar yang diharapkan menghasilkan acuan bagi setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Apabila nantinya ada satu pemahaman dalam praktik praperadilan untuk mengkontrol upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka diharapkan setidaknya dalam penantian menunggu mekanisme kontrol yang lebih ketat dalam R KUHAP, Pedomanan Penahanan dan Praperadilan Penahanan ini bisa mengisi kekosongan tersebut.