Insiden penyitaan barang milik masyarakat sipil yang dilakukan secara sewenang-wenang terjadi saat TNI dan Polri melakukan perampasan terhadap ratusan buku yang diduga berkonten paham komunisme. Penyitaan yang dilakukan khususnya terhadap buku-buku yang merupakan sumber literasi bagi masyarakat tersebut semestinya tidak dilakukan secara represif. Aparat penegak hukum semestinya bertindak sesuai prosedur yang ditentukan dalam hukum yang berlaku dalam melakukan upaya paksa tersebut.
TNI dan Polri melakukan penyitaan terhadap ratusan buku di daerah Pare, Kediri yang diduga mengandung konten komunisme pada hari rabu tanggal 26 Desember 2018 kemarin, sebagaimana dilansir oleh beberapa situs berita online. Penyitaan tersebut dilakukan berdasarkan adanya dugaan pelanggaran terhadap ketentuan dalam TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI setelah terdapat pengaduan dari masyarakat sekitar.
Mengenai penyitaan barang cetak seperti buku yang mengandung konten yang bertentangan atau melawan undang-undang sebelumnya pernah diatur melalui Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetak yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Namun, melalui putusan nomor 20/PUU-VIII/2010, MK kemudian membatalkan undang-undang tersebut dan menyatakan segala penyitaan yang dilakukan yang dahulunya merupakan kewenangan kejaksaan, harus tetap dilakukan sesuai ketentuan dalam undang-undang yang berlaku (KUHAP) yakni dengan melalui perintah pengadilan dan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Dengan demikian, ketentuan hukum yang berlaku saat ini mengamanatkan agar seluruh perbuatan aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan terhadap buku-buku yang diduga melanggar dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan wajib untuk dilakukan melalui perintah pengadilan terlebih dahulu.
Terkait insiden tersebut, ICJR berpendapat bahwa penyitaan yang dilakukan oleh TNI dan juga Polisi tersebut harus dipertanyakan dasar hukum pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 38 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan. Perlu ditelusuri apakah kemudian penyitaan yang dilakukan ini memang atas perintah dari Ketua Pengadilan setempat ataukah tidak. Apabila tidak demikian, tentu saja penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik bukanlah merupakan penyitaan yang sah.
Tidak hanya itu, TNI dalam hal ini tidak memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa berupa penggeledahan maupun penyitaan. Sebab dalam perkara yang melibatkan masyarakat sipil, TNI tidak memiliki wewenang atasnya. TNI juga bukan merupakan penyidik yang memiliki kewenangan untuk dapat melakukan upaya paksa seperti penggeledahan dan juga penyitaan sebagaimana dilakukan di Pare tersebut. Oleh karenanya, TNI semestinya tidak boleh terlibat dalam upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik kepolisian.
Atas dasar tersebut, ICJR memberikan rekomendasi terkait insiden penyitaan sewenang-wenang yang dilakukan oleh TNI dan Polri di Kediri tersebut sebagai berikut:
- Kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan evaluasi terhadap upaya paksa penyitaan yang dilakukan oleh pasukan anggota TNI dan kepolisian tersebut apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya Pasal 38 KUHAP;
- Kepada masyarakat yang merasa dirugikan, khususnya bagi pemilik toko buku yang barang dagangannya diambil paksa oleh aparat tersebut untuk membuat laporan ke kepolisian agar tindakan sewenang-wenang tersebut dapat diusut; dan
- Kepada kepolisian dan pemerintah untuk lebih memperhatikan prosedur yang berlaku dalam melakukan upaya paksa penyitaan, khususnya terhadap buku-buku yang menjadi sumber literasi bagi masyarakat, agar tidak ada lagi insiden penyitaan terhadap barang-barang milik masyarakat sipil secara represif.
——————
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan