Sistem Kesehatan Perlu Merespons Kebaruan Pengaturan Aborsi Aman dalam Rancangan KUHP

Salah satu isu yang masuk dalam isu krusial Rancangan KUHP (RKUHP) adalah mengenai kriminalisasi aborsi. Pada 12 diskusi publik sosialisasi RKUHP di berbagai wilayah, Pemerintah memaparkan akan ada perubahan pengaturan mengenai kriminalisasi aborsi, yang tertera dalam Pasal 469 ayat (4) RKUHP versi paparan pemerintah 2021.

Dalam paparan tersebut dimuat rumusan RKUHP memuat pengecualian kriminalisasi aborsi dengan menyatakan kriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran kandungan dikecualikan untuk korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 120 (seratus dua puluh) hari (16 minggu) atau memiliki indikasi kedaruratan medis. Usia kandungan ini juga sejalan dengan rekomendasi WHO untuk menyelenggarakan aborsi aman sampai dengan batas usia kandungan 12 minggu.

Hal ini merupakan suatu kemajuan. ICJR merespon positif, usia kandungan 16 minggu yang diperbolehkan untuk dilakukan aborsi aman penting untuk direspon oleh sistem kesehatan, karena jangka waktu ini masuk akal untuk membangun rangkaian sistem, tidak sempit seperti pada ketentuan sekarang hanya 6 minggu/40 hari. Jaminan ini harus dibahas tidak hanya dalam tataran normatif, kondisi implementasi kebijakan aborsi aman, yang juga telah diatur dalam berbagai aturan turunan PP No. 61 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 tahun 2016 perlu kembali dilihat.

Hingga saat ini, masih terdapat stagnasi penyelenggaraan sistem kesehatan untuk aborsi aman, dengan belum adanya pelatihan tenaga kesehatan, sertifikasi tenaga kesehatan hingga belum ada daftar fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan aborsi aman, bahkan di proses penyidikan belum ada jaminan korban perkosaan untuk mendapatkan layanan kontrasepsi darurat dan opsi aborsi aman, juga tidak tersedia SOP khusus ataupun format dokumen untuk melakukan rujukan untuk memperoleh layanan tersebut.

Stagnansi dari pemerintah yang tidak kunjung menjamin penyelenggaran aborsi aman telah menuai korban. Pada Agustus 2021 lalu kita mendapati kasus dimana Melati (12 tahun, bukan nama sebenarnya) di Jombang, Jawa Timur sebagai korban perkosaan yang menderita kehamilan, pada usia kehamilan kurang dari 6 minggu sempat mengajukan permohonan aborsi aman secara legal kepada penyidik, namun permohonan tersebut berdasarkan keputusan berbagai instansi yaitu Unit PPA Polres, PTP2A dan Dinas Sosial ditolak. Tidak begitu jelas mengapa penolakan tersebut dilakukan.

Dalam tataran kedepan, dengan adanya jaminan RKUHP memuat batasan kandungan yang bisa dilakukan aborsi aman lebih panjang, maka Kementerian Kesehatan harus mempercepat penyelenggaraan aborsi aman, dengan:

1. Menyegerakan penyelenggaraan proses pelatihan untuk sertifikasi dokter yang dapat melakukan aborsi aman
2. Menentukan daftar fasilitas kesehatan yang dapat menyelenggarakan aborsi aman
3. Berkoordinasi dengan Tim Perumus RKUHP untuk memastikan pembangunan dan penguatan sistem penyelenggaraan aborsi aman

Hormat Kami,
ICJR


Tags assigned to this article:
Aborsi AmanHAMHARIABORSIAMANSEDUNIA

Related Articles

Review ICJR atas Ancaman dan Perlindungan Pelapor atau Whistle Blower di 2016

“Perlindungan terhadap Pelapor atau Whistle Blower (WB), Masih Butuh Perhatian Serius” Ancaman dan intimidasi terhadap para pelapor masih tinggi. Namun

[FLASH NEWS] Informasi Penembakan Terhadap 6 Warga Negara Harus Akuntabel dan Tranparan

Penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota

Kebakaran (Lagi) di Lembaga Pemasyarakatan: Evaluasi dan Investigasi Harus Segera Dilakukan

Rabu, 8 September 2021, kita semua dikejutkan dengan kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang yang menewaskan 41 (empat