“Revisi pasal 27 (3) UU ITE tidak akan mengubah paradigma, UU ITE masih tetap mengancam kebebasan Ekspresi dan Demokrasi ”
Berdasarkan Informasi yang di terima oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bahwa setelah melewati 2 kali rapat kerja dan 5 kali rapat di Panitia Kerja Komisi I DPR, akhirnya menyelesaikan pembahasan RUU Perubahan UU ITE pada Selasa 30 Agustus 2016 lalu.
Dalam kesepakatan antara pemerintah dan DPR tersebut, Pembahasan RUU Perubahan UU ITE menghasilkan beberapa hal yaitu :
- Menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3) dari 6 tahun menjadi 4 tahun, sehingga tidak ada potensi utk dilakukan penahanan. Menegaskan bahwa pidana pencemaran nama baik adalah delik aduan dan merujuk pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP
- Menegaskan bahwa pidana pengancaman (Pasal 27 ayat 4) /pemerasan merujuk pada Pasal 368 & 369 KUHP.
- Menurunkan ancaman pidana ancaman kekerasan dan menakut-nakuti secara pribadi (Pasal 29) dari 12 tahun menjadi 4 tahun.
- Mengharmoniskan ketentuan penangkapan-penahanan, penggeledahan-penyitaan dengan KUHAP.
- Memasukkan ketentuan cyber bullying (perundungan di dunia siber) sebagai pidana Pasal 29.
Sedari awal ICJR menyatakan kekecewaan yang mendalam terutama terkait proses pembahasan RUU Perubahan UU ITE yang selalu tertutup dari pantauan masyarakat. Dalam pantauan ICJR, tidak ada satupun sidang – sidang pembahasan RUU Perubahan UU ITE yang dinyatakan terbuka oleh Pimpinan Komisi dan Panja Fraksi, dan hal ini merupakan kemunduran dan mencederai semangat dari para pimpinan DPR untuk membuat DPR yang modern, transparan, dan akuntabel.
ICJR juga menegaskan bahwa kesepakatan yang telah dicapai oleh pemerintah dan DPR adalah kemunduran dalam proses reformasi hukum di sektor pidana. Karena Indonesia masih berada pada tahap over kriminalisasi terutama dengan banyaknya duplikasi ketentuan – ketentuan pidana yang ada dalam KUHP dengan yang ada dalam UU ITE ataupun yang disepakati dalam RUU Perubahan UU ITE.
ICJR juga menyoroti penurunan ancaman pidana baik dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan (4) dan Pasal 29. Hal ini tidak menjawab persoalan duplikasi tindak pidana karena ketentuan – ketentuan yang sama dalam KUHP masih mampu untuk menjangkau perbuatan – perbuatan yang dilakukan dengan medium internet. Problem yang terjadi adalah pasal-pasal pidana tersebut terbukti masih bersifat karet, multi intrepretasi dan gampang disalahgunakan.
ICJR juga mengecam kemunduran proses “fair trial” dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam RUU Perubahan UU ITE. Sebelumnya proses penangkapan dan penahanan dalam UU ITE yang lama memerlukan ijin dari Ketua Pengadilan (Pasal 43 ayat 6) dan ini menunjukkan kemajuan Indonesia dalam menselaraskan ketentuan hukum nasional dengan kewajiban- kewajiban internasional Indonesia. Dengan menghilangkan ijin dari Ketua Pengadilan, maka penahanan yang sewenang – wenang akan sangat mudah dilakukan seperti yang selama ini telah terjadi
Dalam hal perundungan (cyber bullying), ICJR juga tidak dapat melihat bagaimana frasa ini dirumuskan, sekali lagi karena proses pembahasan RUU Perubahan UU ITE tertutup dari pantauan publik. Karena itu ICJR mengkuatirkan frasa ini akan dirumuskan terlampau karet dan bertentangan dengan prinsip lex certa dan lex stricta serta lex scripta.