Mengawali tahun baru 2015, Mahkamah Agung (MA) dinilai telah melupakan prinsip “Lex Specialis Derogat Legis Generalis” dalam Pembentukan Surat Edaran MA tentang Pembatasan Peninjauan Kembali (PK) atau SEMA Pembatasan PK.
Penilaian itu dikekluarkan di Jakarta oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada Kamis (1/1/2015). ICJR menjelaskan, mengakhiri tahun 2014, MA memberikan kado tahun baru berupa pembatasan PK yang diatur melalui instrument SEMA. Pada intinya SEMA tersebut memberikan instruksi terhadap seluruh pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) untuk tidak menerima permohonan PK lebih dari satu kali kepada terpidana.
Menurut Ketua Tim Perumus SEMA PK, Suhadi, Putusan MK No 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, yang membatasi pengajuan PK bertentangan dengan konstitusi adalah cacat hukum. Alasannya masih ada aturan yang membatasi pengajuan PK yaitu Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang MA. Kedua peraturan ini menurut Suhadi tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
ICJR juga menerangkan, salah satu penyebab utama keluarnya SEMA ini ialah permintaan Jaksa Agung kepada MA agar lembaga peradilan tertinggi ini segera menerbitkan Pertaturan MA (Perma) untuk mengatur permohonan PK terhadap terpidana mati. Peraturan ini diperlukan karena Jaksa Agung saat ini, M Prasetyo menunda eksekusi mati terhadap dua terpidana narkoba, Agus Hadi dan Pujo Lestari, karena kedua terpidana itu mengajukan PK untuk kali kedua setelah grasinya ditolak.
ICJR berpendapat pengaturan pembatasan PK melalui SEMA tidaklah tepat. Alasan lembaga ini, setiap pembatasan terhadap hak asasi haruslah dilakukan dengan undang-undang (UU) sesuai ketentuan Pasal 28 J UUD 1945.
Anggara Suwahyu, Ketua Badan Pengurus ICJR, juga mengatakan, MA telah melupakan prinsip “Lex Specialis Derogat Legi Generali” dalam Pembentukan SEMA Pembatasan PK. Kedua aturan Undang Undang yang menjadi sandaran pembentukan SEMA yaitu Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang MA tersebut mengatur PK dalam semua perkara (Perdata, TUN, Agama).
“Namun khusus untuk perkara pidana pengaturan PK sudah diatur secara khusus dalam KUHAP. MA mestinya berhati–hati menerobos prinsip hukum yang sudah lama dianut oleh negara–negara hukum modern. Dengan melanggar prinsip ini maka MA telah mengingkari prinsip negara hukum yang dianut dalam UUD 1945,” kata Anggara.
Anggara juga menjelaskan, ICJR tetap menolak hukuman mati, meskipun pidana hukuman mati masih dianggap sesuai dengan konstitusi menurut Putusan MK. Oleh karena itu, tegasnya, pengajuan PK oleh terpidana pada dasarnya tidak dapat menghalangi eksekusi terhadap terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati.
Dia juga mengingatkan, berdasarkan KUHAP meskipun terpidana sudah menjalani hukuman mati, PK masih bisa diajukan oleh ahli waris terpidana. “Oleh karena itu, kami merasa heran atas kebijakan para pimpinan MA yang mengikuti kemauan Jaksa Agung beserta Presiden untuk menerbitkan SEMA tersebut dengan melanggar beragam prinsip–prinsip hukum yang berlaku umum di negara–negara hukum modern,” tuturnya.
Anggara juga mengingatkan, jika pun Jaksa Agung enggan mengeksekusi terpidana mati karena masalah pengajuan PK, mestinya lembaga ini juga tidak menuntut terdakwa dengan tuntutan hukuman mati. Diingatkan pula, di tengah buruknya sistem peradilan pidana Indonesia saat ini, pemberlakukan tuntutan hukuman mati harus diterapkan dengan hati–hati dan sangat ketat.
“Tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati harus dijamin dan dilindungi dengan sangat ketat hak–haknya agar proses “peradilan sesat” dapat diminamilisisai,” tegas Anggara Suwahyu.
Sumber: Warta Kota