Rancangan KUHP (RKUHP) telah memasuki babak final dan akan segera disahkan. Hal ini setelah terjadinya konsinyering antara tim perumus (Timus) dengan tim pemerintah pada 15-17 Januari 2018 di Jakarta. Dalam konsinyering tersebut telah disepakati pasal-pasal yang sebelumnya masih pending. Salah satunya yang telah disepakati adalah mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat yang tercantum dalam pasal 2 RKUHP.
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu hidup.
Dalam pantauan ICJR, ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, yang menegasikan asas legalitas ini, sebenarnya masih menyisakan masalah, salah satunya adalah pemerintah belum menyusun ataupun membuat kompilasi hukum adat mana saja yang dapat dikatagorikan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga ditakutkan nantinya, akan terjadi banyak overkriminalisasi oleh aparat penegak hukum. Dengan potensi adanya overkriminalisasi, maka akan ada potensi juga terkait tindakan sewenang-wenang yang akan dilakukan oleh aparat penegak hukum mengenai penerapan pasal ini.
Selain itu, terdapat wacana bahwa pengaturan lebih rinci mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat ini akan berbentuk Peraturan Daerah (Perda) bagi daerah masing-masing yang masih memiliki hukum pidana adat. Hal ini menunjukkan bahwa baik pemerintah maupun DPR sama-sama tidak konsisten dalam tujuan perumusan RKUHP yang digadang-gadang merupakan unifikasi hukum melalui kodifikasi. Sehingga hal ini akan menyisakan kerumitan sendiri di lapangan kedepannya bagi para aparat penegak hukum, dimana tidak adanya kepastian hukum dengan disepakatinya ketentuan tersebut. Serta yang terakhir, terkait dengan sanksi pidana adat yang adalah pemenuhan kewajiban adat dikhawatirkan ke depan dapat tidak sesuai dengan kategori pemidanaan yang telah dibuat oleh pemerintah dan DPR.
Atas dasar hal tersebut, ICJR mendorong pemerintah dan DPR untuk tetap konsisten dengan tujuan perubahan KUHP yaitu adanya unifikasi hukum pidana melalui kodifikasi. Sehingga, ICJR menilai bahwa sebaiknya ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat tersebut dihapuskan. Mengingat tidak adanya kompilasi terkait hukum adat mana saja yang dapat dikategorikan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat. Agar kedepannya, tidak terjadi multi-interpretasi dalam kalangan aparat penegak hukum guna menghukum seseorang.
Serta yang terakhir, jika pemerintah dan DPR bersikeras mengakomodasi hukum pidana adat, ICJR menyarankan bahwa ketentuan tersebut tidak boleh menjadi pidana pokok melainkan sebagai pidana alternatif. Dimana hukum adat digunakan menjadi alasan penghapus pidana serta alasan penghapus penuntutan. Selain itu, pemerintah dan DPR harus segera melengkapi aturan mengenai hukum acaranya guna menjadi jembatan hukum antara pidana adat masuk dan peradilan adat dengan hukum pidana nasional dan sistem peradilan pidana nasional