Penundaan eksekusi Mary Jane tunjukkan hukum Indonesia benar-benar bermasalah
Hari ini 29 April 2015, Pemerintah Indonesia melakukan eksekusi terhadap 8 terpidana mati kasus narkotika. Mereka yang telah dieksekusi mati adalah diekseksusi adalah Martin Anderson alias Belo, Zainal Abidin, Raheem Agbajee Salame, Rodrigo Gularte, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Okwudili Oyatanze, Sylvester Obiekwe Nwolise. Satu terpidana mti yaitu Mary Jane Fiesta Veloso, tidak ikut serta dalam eksekusi mati tersebut dikarenakan Pemerintah Indonesia merespon bukti baru yang ditemukan usai orang yang mengaku merekrut dan menjebak Mary Jane menyerahkan diri di Filipina.
ICJR merasa prihatin terhadap eksekusi mati yang dilakukan sebab hukum Acara yang digunakan dalam memproses hukum para terpidana mati masih lemah dalam hal standar fair trialnya. Norma KUHAP yang berlaku saat ini belum layak untuk digunakan untuk mengadili para terpidana mati. Paling tidak ada hal – hal khusus yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHAP pertama adalah perlindungan, standar bantuan hukum, dan ketersediaan advokat yang kompeten; kedua, problem miscariege of justice maupun larangan praktek intimidasi dan peyiksaan yang sama sekali tidak diatur dalam KUHAP; dan ketiga minimnya Hak terdakwa untuk melakukan Peninjauan Kembali secara memadai.
Perlu untuk disoroti bahwa dugaan ICJR tersebut terjawab dengan alasan penundaan eksekusi terhadap Mary Jane. Mary Jane tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai, tidak mendapatkan penerjemah yang layak serta tidak dipertimbangkannya posisi Mary Jane yang merupakan korban penjebakan dan perdagangan orang. Fakta yang muncul di detik-detik akhir eksekusi bahwa Mary Jane dijebak dan merupakan korban perdagangan orang, telah memberikan tamparan keras pada sikap MA yang melakukan pembatasan terhadap Peninjauan Kembali.
Kaus Mary Jane menunjukkan bahwa hukum Indonesia, secara spesifik peradilan pidana di Indonesia tidak layak menerapkan pidana mati. Untuk itu ICJR mendesak: Pertama, Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan kembali penolakan grasi terhadap terpidana mati lainnya, bahkan apabila diperlukan untuk membentuk tim yang akan melakukan review terhadap seluruh dugaan kelemahan proses peradilan pidana yang berhubungan dengan hak atas fair trial bagi terpidana mati.
Kedua, mendorong percepatan pembahasan Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP guna menambal kelemahan yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP saat ini, terkhusus dalam hal menjamin tidak adanya celah pelanggaran terhadap hak atas fair trial.
Ketiga, mendesak MA untuk mencabut SEMA 7 tahun 2014 tentang pembatasan pengajuan PK pidana. Fakta kasus Mary Jane menunjukkan bahwa novum bisa datang kapan saja, untuk itu SEMA 7 tahun 2014 selain tidak relevan dengan kondisi yang ada, juga merupakan pembangkangan terhadap konstitusi dan pelanggaran terhadap hak atas keadilan.