Penahanan Florence Harus Berdasarkan Penetapan Pengadilan!
Kasus yang terkait Florence saat ini makin bergulir, karena Florence saat ini masih dalam penahanan Penyidik. ICJR menilai bahwa Penyidik yang melakukan Penahanan kepada Florence harus berhati hati, karena ada prosedur khusus dalam UU ITE dimana penyidik harus terlebih dahulu meminta penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE. ICJR menduga bahwa hal ini tidak dijalankan oleh Penyidik Kepolisian Daerah Jogjakarta, dalam kasus Florence.
Anggara, Peneliti Senior ICJR, menilai bahwa apabila tanpa ijin atau penetapan pengadilan maka ada kesalahan mendasar atas penahanan Florence, baik secara alasan objektif atas penahanan maupun prosedural berdasarkan UU ITE. Secara objektif, jelas penahanan Florence bertentangan dengan Pasal Penahanan yang diatur dalam UU ITE.
Untuk kasus Florence berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. “Ini berarti tanpa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Jogjakarta, maka penahanan kepada florence tidak sah” jelas anggara.
Untuk itu ICJR menilai, jika penahanan tersebut tanpa penetapan pengadilan maka Florence harus segera dilepaskan dari tahanan dan Florence memiliki hak untuk mengajukan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, yaitu mengenai tidak sahnya penahanan yang dilakukan terhadap Florence.
Secara lebih luas, ICJR juga mengingatkan kepada para penyidik yang menggunakan UU ITE agar memperhatikan pasal-pasal mengenai prosedur penahanan dalam UU tersebut karena pasal sering dilupakan oleh penyidik. Dari awal ICJR juga secara konsisten menolak dan mempertanyakan ancaman pidana dalam UU ITE yang sangat tinggi yaitu diatas 5 tahun, perlu diketahui bahwa ancaman pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mencapai 6 tahun penjara. Ancaman pidana tinggi diatas 5 tahun tersebut secara langsung mengaktifkan Pasal 21 ayat (4) KUHAP sehingga memberikan celah agar para tersangka dapat dikenai penahanan. Hal ini berbeda dengan pengaturan penghinaan di KUHP yang ancaman pidananya di bawah 5 tahun, sehingga dengan kondisi yang sama tidak perlu dilakukan penahanan.