Berdasarkan informasi pemberitaan di berbagai media, sebanyak empat laki-laki yang merupakan petugas forensik RSUD Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar ditetapkan sebagai tersangka karena memandikan jenazah wanita. Kempatnya disangka dengan Pasal 156a huruf a jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Penodaan Agama.
Dalam keterangan lanjutan, ditemukan informasi bahwa RSUD dr Djasamen Saragih merupakan rumah sakit rujukan Covid-19, pasien yang dirujuk merupakan suspek Covid19 yang meninggal dunia pada Minggu 20 September 2020 sehingga dilakukan protokol Covid19 dalam penyiapan jenazah. ICJR pada dasarnya memahami keresahan yang dimiliki oleh keluarga, namun dalam kasus seperti ini, perlu diperhatikan rambu-rambu hukum pidana untuk menghindari kesewenang-wenangan penegakan hukum dan kesalahan penerapan hukum oleh aparat.
Menurut ICJR, kasus tersebut sulit dikatakan memenuhi unsur penodaan agama. Merujuk pada Pasal 156a KUHP, terdapat dua unsur yang sangat penting dan sering tidak diperhatikan dengan hati-hati dan tidak diimplementasikan dengan baik dalam kasus-kasus penodaan agama yaitu pertama, unsur “kesengajaan dengan maksud” melakukan penodaan agama di muka umum dan kedua, bentuk perbuatan “yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama”. Penyidik dan Jaksa harus sangat berhati-hati dalam menilai apakah perbuatan para tersangka memang disengaja dengan maksud di muka umum melakukan penodaan agama. Kelalaian karena tidak mematuhi protokol, SOP, atau urutan prosedur lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dengan maksud, terlebih para tersangka menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan yang khusus menangani jenazah suspek Covid19 dengan telah dilengkapi surat keputusan pengangkatan mereka.
Selain itu, dalam delik penodaan agama, harus merupakan sebuah perbuatan “yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama”. Perbuatan itu sendiri haruslah perbuatan yang sifatnya menodai suatu agama atau ajaran agama, maka dia harus langsung menyasar agama tersebut, sedangkan perbuatan yang menyasar orang per orang yang kebetulan menyalahi ajaran suatu agama, tidak dapat langsung disimpulkan menodai agama. Sebab apabila menggunakan logika yang demikian, maka semua kejahatan tentu menyalahi ajaran agama, dalam kondisi ini maka semua delik pidana adalah penodaan agama dan tidak lagi dibutuhkan KUHP. Maka, suatu perbuatan yang melanggar norma agama belum tentu melanggar norma hukum, dalam kasus ini, yaitu perbuatan pidana penodaan agama.
ICJR juga mengkritik Jaksa penuntut umum yang telah menerima pelimpahan kasus ini, Jaksa yang harusnya berperan sebagai dominus litis dalam memastikan apakah suatu kasus perlu atau tidak untuk diteruskan, terlihat tidak dapat mengambil peran itu, terlebih dalam kondisi pandemi Covid19, kasus seperti ini akan sangat berbahaya dalam menyasar para tenaga kesehatan dan petugas di garda depan lainnya yang sedang menjalankan tugasnya melakukan penanganan Covid19. Jaksa perlu untuk berhati-hati dalam menangani kasus yang demikian.
Untuk itu, ICJR meminta agar aparat penegak hukum, berhati-hati dalam menangani kasus ini, khususnya untuk Jaksa yang sudah menerima pelimpahan kasus dari penyidik. Dalam kaca mata ICJR, sampai dengan fakta terkini, maka sulit untuk menyimpulkan kasus ini merupakan kasus yang memenuhi unsur delik penodaan agama. Kasus ini juga bisa sangat berbahaya apabila tidak ditangani dengan hati-hati karena akan menyasar para tenaga kesehatan yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid19.