Stella Monica Hendrawan (SM) pada Januari 2019 sampai dengan September 2019 menjadi pasien Klinik Kecantikan L’viors. Pada Desember 2019, SM menggunggah komentar dalam Instagram pribadinya tentang pengalamannya memperoleh perawat dari Klink L’viors yang kemudian direspons oleh teman-teman yang memiliki pengalaman buruk yang hampir sama. Hal itu dilakukan atas dasar sharing berbagi dengan teman-temannya.
Pada Juni 2020, anggota kepolisian dari Tim Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim mendatangi rumah SM membawa surat laporan dari pihak klinik. Kemudian berdasarkan pemeriksaan lanjutan SM didakwa dan dituntut oleh penuntut umum dengan dakwaan tunggal Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik.
Pada 14 Desember 2021, SM diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya. ICJR memberikan apresiasi kepada majelis hakim yang memutus perkara tersebut akan kesadaran pentingnya melindungi hak konsumen, memastikan bahwa sengketa konsumen bukan ranah pidana, dan keluhan konsumen bukan merupakan tindak pidana. Praktik ini harus diperhatikan oleh seluruh aparat penegak hukum dan menjadi acuan untuk menghindari adanya pemidanaan bagi konsumen.
ICJR terus menyuarakan bahwa kasus ini sedari awal tidak perlu diproses pidana, hal itu sudah juga ditungkan ICJR dalam Amicus Curiae yang kami kirimkan ke majelis hakim kasus SM. Kami mengkritisi peran dari penyidik dan penuntut umum dalam kasus ini. Dengan kacamata analisis hukum, proses pidana tidak dapat dijerat kepada SM. Dengan demikian penyidik dan penuntut umum dipastikan telah melakukan kesalahan, tidak mengindahkan hukum yang ada. Beberapa kesalahan tersebut antara lain:
Pertama, Penyidik dan penuntut umum tidak memahami konstruksi hukum Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang menyertakan syarat: harus merujuk pada Pasal 310/311 KUHP, hanya dapat ditujukan kepada orang, terdapat pengecualian tidak dapat dijerat jika berkaitan dengan kepentingan publik.
Kedua, Penyidik dan penuntut umum tidak memahami bahwa SM adalah konsumen yang mana sikap tindaknya berkaitan dengan layanan L’viors adalah pelaksanaan hak konsumen
Ketiga, teknis penafsiran dan analisis hukum penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE oleh penuntut umum tidak tepat, mulai dari menggunakan penafsiran grammatikal, hingga penggunaan rujukan putusan yang tidak tepat.
ICJR sekali lagi mengapresiasi putusan hakim, namun kasus ini menandakan bahwa usaha baik yang telah dilakukan pemerintah dengan menghadirkan pedoman UU ITE ternyata tidak dipedulikan oleh penyidik dan penuntut umum. UU ITE masih menjadi ancaman serius pada kebebasan berekspresi dan berpendapat yang sudah berulangkali dibicarakan Presiden Jokowi.
Untuk itu, ICJR juga meminta agar Kapolri dan Jaksa Agung memeriksa dan mengevaluasi polisi dan jaksa yang bertugas, perlu ada langkah tegas kepada aparat yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
Jakarta, 14 Desember 2021
ICJR