Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik pengaturan RUU CoC karena bersifat sangat eksesif dan sangat berpotensi besar mengancam kebebasan warga negara yang berujung pada pembatasan hak asasi manusia.
Marak beredar Rancangan Undang-Undang Contempt of Court (RUU CoC), usulan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), tujuan dari adanya RUU CoC ini adalah untuk menjaga proses peradilan bebas dari segala intervensi. Menariknya, dalam penjelasan umumnya, RUU ini menyadari betul dampak dari pengaturan ini. Disebutkan bahwa “dari dimensi lain, sebenarnya eksistensi contempt of court ibarat “pedang bermata dua”. Di satu sisi, upaya menegakkan kewibawaan lembaga peradilan, dan di sisi lainnya akan menjadi boomerang bagi masyarakat”.
Atas dasar itu ICJR menilai bahwa perumus RUU ini tidak menimbang dengan baik dan seksama seluruh akibat yang akan muncul, lebih jauh, RUU ini seakan menafikkan bahwa kepercayaan publik terhadap peradilan saat ini sangat rendah, sehinga menurut ICJR harusnya IKAHI berfokus pada pembenahan sistem peradilan pidana di Indonesia, bukan malah membuat suatu usulan yang dapat memperkeruh kepercayaan publik pada proses peradilan.
ICJR memiliki beberapa catatan terkait RUU CoC ini, diantaranya :
Pertama, konsep Contempt of Court tidak tepat digunakan dalam konsep peradilan pidana di Indonesia. Indonesia menganut sistem non adversary model- inqusitorial, sedangkan konsep CoC merupakan konsep Adversary. Singkatnya, kedua sistem ini sangat bertolak belakang dalam beberapa titik. Terkait kekuasaan hakim, mengapa CoC digunakan dalam model Adversary, karena hakim hanya sebagai fasilitator sidang, Juri sebagai penentu dan kedudukan jaksa dengan terdakwa sejajar, sehingga pembuktian utama dilakukan dalam persidangan. Indonesia sebaliknya, dengan sistem indonesia, Hakim memegang kekuasaan yang begitu besar, Hakim sebagai pengendali utama peradilan, kedudukan Jaksa dan terdakwa juga berbeda karena pembuktian sudah dimulai dari tahapan penyidikan. CoC berfungsi untuk menutup celah kekuasaan hakim yang tidak besar. Di Indonesia konsep ini tidak dibutuhkan karena Hakim memiliki kekuasaan besar yang tidak perlu ditutup dengan konsep CoC. Dengan RUU CoC ini, akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya.
Kedua, pada dasarnya, seluruh larangan yang ada dalam RUU CoC sudah diatur terpisah dalam KUHP yang saat ini berlaku. Sebagai contoh, Dalam Pasal 33 RUU CoC melarang saksi memberikan keterangan tidak benar di muka sidang pidana, diancam penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), ketentuan ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana 9 tahun penjara.
Contoh lain pasal-pasal dalam RUU CoC yang berhubungan dengan menghalang-halangi penyidikan seperti perusakan atau menghilangkan alat bukti, menyembunyikan tersangka, membuat kegaduhan di muka sidang, dan lain sebagainya sudah diatur juga seluruhnya dalam BAB VIII tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum dalam KUHP. Hal yang sama juga bagi perusakan gedung, tentu saja termasuk perusakan gedung pengadilan, yang juga sudah diatur dalam KUHP.
Bahkan untuk persoalan seperti penghinaan, KUHP masih mengatur mengenai penghinaan penguasa umum dalam Pasal 207 dan 208 KUHP, perlindungan double juga diberikan dalam konteks penghinaan diadukan secara individu, diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.
Persebaran ketentuan “Contemp of Court” di beberapa aturan dalam KUHP menunjukkan bahwa perlindungan terhadap wibawa hakim sesungguhnya sudah dijamin dalam KUHP, apabila menggunakan kacamata RUU CoC. Dengan begitu maka RUU CoC nampaknya tidak mendesak untuk diatur, atau lebih tepatnya RUU CoC hanya berisi peraturan yang mengatur ulang ketentuan KUHP.
Ketiga, Ketentuan dalam RUU CoC sangat bersifat eksesif dengan ancaman pidana yang sangat tinggi rata-rata diatas 5 tahun. Beberapa diantaranya bahkan kepada perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan informasi. Pasal 24 RUU CoC memuatn ancaman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.00,- (satu milyar rupiah), untuk orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim. Bahkan pasal ini diperkuat dengan Pasal 49 dan 50 RUU CoC yang mengatur mengenai pertanggungjawaban mutlak, dimana orang langsung dinyatakan bersalah tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya.
Perlu menjadi catatan bahwa, Sistem pertanggungjawabaan mutlak atau strict liability juga dapat dijatuhkan terhadap perbuatan yang mempublikasi terhadap perkara yang sedang dalam proses peradilan dimana publikasi tersebut dianggap bertendensi adanya pendapat umum (public opinion) yang dapat mempengaruhi hakim, juga secara langung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman. Konsep ini cukup aneh, karena berbenturan dengan prinsip Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, Hakim juga sudah diikat dengan ketentuan bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim harus berdasarkan fakta dalam ruang sidang serta keyakinannya, sehingga apapun opini yang sedang berkembang merupakan hal yang harus didengar dan dipertimbangkan, namun tetap mengacu pada fakta dipersidangan. Menjadi konyol apabila hakim dilindungi dari sesuatu yang menjadi kewajibannya.
Keempat, Kepercayaan publik terhadap peradilan saat ini menjadi sorotan tajam, beberapa kasus besar melibatkan aparat penegak hukum, dan tidak terkecuali Hakim, terakhir yang paling besar adalah kasus Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Suap Hakim PTUN Medan. Seluruh proses peradilan merupakan satu-satunya wadah paling utama dalam mencari keadilan, seluruh kepentingan publik diwakilkan dalam proses ini. Membentuk suatu undang-undang yang menyasar masyarakat seperti RUU CoC akan mengakibatkan jarak antara masyarakat dan peradilan semakin jauh.
Untuk Itu berdasarkan beberapa argumen di atas, ICJR menyerukan agar RUU CoC ini tidak dibahas di DPR. Lebih jauh, ICJR mengajak seluruh sub sistem dalam sistem peradilan pidana, utamanya hakim untuk berfokus pada penyelenggaraan peradilan yang lebih berintegritas, toh dalam pengaturan dalam KUHP dan KUHAP perlindungan terhadap kinerja Hakim dirasa sudah cukup. Apabila belum, sudah ada Rancangan KUHP dan KUHAP sedang dan akan dibahas di DPR, ada baiknya ide-ide yang dimiliki oleh IKAHI dituangkan dalam dua rancangan tersebut, tapi tidak untuk RUU CoC yang sangat eksesif dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia.