JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Institusi Praperadilan dianggap sudah layak untuk dimusiumkan. Pernyataan itu dikatakan Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju dalam diskusi bertema ‘Reformasi Penahanan dan Pengawasannya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia’ di Jakarta pada Selasa (25/3). Acara ini sekaligus peluncuran buku ‘Praperadilan : Teori, Sejarah dan Praktiknya’.
Kehadiran lembaga praperadilan sejatinya muncul dari semangat untuk memasukan konsep habeas corpus di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Namun pada akhirnya konsep habeas corpus diadopsi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia dalam bentuk mekanisme hukum praperadilan yang kewenangannya tidak seluas dan seketat konsep aslinya, habeas corpus.
Besarnya kewenangan penahanan yang mutlak berada ditangan aparat penegak hukum mengakibatkan pengawasan terhadap upaya paksa penahanan dalam wujud praperadilan tidak berdaya. Dalam pemeriksaan perkara praperadilan, pengadilan kerap tidak memeriksa syarat sesuai dengan KUHAP dalam melakukan penangkapan, penahanan, atau upaya paksa lainnya, termasuk unsur kekhawatiran penyidik, yang berujung pada penolakan dari hakim untuk memeriksa unsur kekhawatiran tersebut. Akibatnya Hakim sekadar memeriksa prosedur administratif, seperti kelengkapan surat. Model seperti ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa praperadilan adalah mekanisme yang tidak penting lagi.
Anggara mengatakan studi ICJR menemukan problem mendasar yang menyebabkan terjadinya kondisi semacam ini berada dalam tataran konseptual sampai dengan praktik sidang praperadilan. Pengaturan KUHAP saat ini mengenai hukum acara dan proses pemeriksaan praperadilan tidak memberikan jaminan sama sekali terhadap kepastian hukum dan akses keadilan.
Salah satu hal yang dapat menunjukkan tidak efektifnya praperadilan sebagai wadah bagi tersangka dalam memperjuangkan hak asasinya adalah adanya kondisi yang menyebabkan berlarut-larutnya proses pemeriksaan praperadilan ini yang secara praktis berbanding lurus dengan keberadaan ketentuan gugurnya praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d. Menurut pasal ini, permohonan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah diperiksa di Pengadilan. Padahal, publik sudah cukup memahami resistensi penyidik dan penuntut terhadap praperadilan ini sehingga umum terjadi penyidik atau penuntut akan mempercepat proses pemeriksaan agar perkara pokoknya segera dilimpahkan ke pengadilan, dan praperadilan menjadi gugur. Dengan demikian, cukup beralasan jika dikatakan bahwa dalam kondisi seperti ini sistem seakan tidak lagi memperdulikan hak tersangka untuk (setidaknya) mengetahui apakah penangkapan dan penahanan terhadapnya sah atau tidak.
Beberapa problem praperadilan lainnya terkait dengan beban pembuktian dalam praperadilan. KUHAP mensyaratkan bahwa unsur keadaan memaksa (kekhawatiran) adalah wilayah pejabat penyidik atau penuntut untuk menggunakan upaya paksa. Oleh karenanya, akan menjadi lebih fair jika pihak yang dibebani untuk membuktikan unsur keadaan yang mengkhawatirkan itu dalam sidang praperadilan adalah pejabat yang bersangkutan. Namun dengan menggunakan asas-asas hukum acara perdata -siapa yang mendalilkan maka ia harus membuktikan- maka beban pembuktian harus pula diletakkan di pihak Pemohon.
Hal ini telah membawa akibat serius karena selain keberadaan barang bukti yang praktis ada di tangan pejabat yang bersangkutan, pada dasarnya Pemohon juga akan sangat kesulitan membuktikan adanya keadaan kekhawatiran tersebut yang notabenenya berada dalam ranah subyektif pejabat yang melakukan upaya paksa.
Hadir dalam acara ini antara lain Praktisi Hukum Luhut M. Pangaribuan, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk periode 2010-2012 Ifdhal Kasim dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Widyo Pramono.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
sumber : http://www.satuharapan.com/read-detail/read/institusi-praperadilan-sudah-layak-dimusiumkan