Rilis Bersama
Jasa Perkawinan Anak Aisha Weddings, Momok Eksploitasi dan Pelanggaran Privasi Anak
Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA)
Beredarnya flyer dan muatan-muatan di laman web Aisha Weddings (aishaweddings.com) yang mengiklankan jasa pencarian suami untuk anak perempuan tidak bisa dibenarkan. Praktik perkawinan seharusnya tidak dipromosikan. Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, Orang tua dan Keluarga berkewajiban dan bertanggung jawab mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak.
Anak perlu dihindarkan dari praktik perkawinan anak yang tidak dapat diterima di dalam masyarakat modern.
Di dalam flyer yang disebarkan terlihat tulisan: “Orang tua yang ingin mencarikan suami untuk anak anda. Silahkan hubungi kami..,” dan “…Kirimkan saja foto dan biodata anda…” ini langsung mendapat perhatian dari masyarakat dan lembaga pemerhati anak. Di dalam halaman web juga penyelenggara jasa Aisha Weddings menyerukan “…Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih.” Hal-hal ini dilihat bukan hanya mendorong kaum muda untuk menikah di usia anak akan tetapi juga membuka celah adanya eksploitasi anak, dan pelanggaran terhadap privasi anak.
Aliansi PKTA menghargai dan mengapresiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) dalam mengambil respon yang cukup cepat dalam menanggap kejadian ini. Salah satu poin tegas di dalam “Statement Kemen PPPA Dalam Media Terkait Aisha Weddings” adalah bagaimana KPPPA melihat hal ini sebagai perbuatan melanggar hukum dan juga bisa mempengaruhi cara berpikir kaum muda untuk melakukan nikah sirri dan menikah di usia anak.
Di dalam flyer, penyelenggara jasa mengajak masyarakat untuk mengirimkan informasi berupa foto dan data pribadi yang bisa jadi merupakan data sensitif yang jika disalahgunakan bisa berimplikasi terlanggarnya perlindungan data pribadi, khususnya dalam situasi orang tua yang ‘mencarikan’ pasangan untuk anaknya. Walaupun kerangka hukum kita belum cukup kuat dalam hal Perlindungan Data Pribadi, akan tetapi hak penghapusan informasi di dalam Pasal 26 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah diakui di Indonesia. Di dalam ketentuan ini penyelenggara jasa elektronik wajib melaksanakan prinsip perlindungan data pribadi, termasuk pemrosesan data yang tidak menyesatkan dan tujuan dari pemrosesan tersebut, terlebih ketika kita membicarakan perihal data personal dari anak.
Selain itu dari kacamata hukum pidana, jasa yang dipromosikan ini memiliki potensi terjadinya eksploitasi seksual anak dan juga tindak pidana perdagangan orang. Sesuai dengan Pasal 76I UU No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak. Eksploitasi tersebut adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan. Dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 2 UU tersebut melarang setiap orang untuk melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut, eksploitasi termasuk di dalamnya eksploitas seksual.
Perkawinan Anak di Indonesia masih menjadi Pekerjaan Rumah bagi pemerintah, 2019 lalu pemerintah melakukan revisi atas UU No. 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang akhirnya mengatur mengenai usia minimal Perkawinan menjadi 19 tahun. Namun, hal ini tentu perlu untuk diikuti dengan langkah-langkah konkret pemerintah dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap budaya Perkawinan Anak. Walaupun Perkawinan Anak dilarang di Indonesia secara hukum, belum tentu otomatis menjamin Perkawinan Anak tidak akan terjadi. Maka, kepekaan terhadap kasus-kasus seperti ini harus lebih ditingkatkan.
Berdasarkan data BPS yang diolah ICJR, angka perkawinan anak di Indonesia naik pada tahun 2017 sebanyak 2.9% dari tahun tahun sebelum.
Tahun | Keterangan dan Selisih Persentase angka Perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun di Indonesia |
2008 – 2010 | Penurunan 2,9% |
2010 – 2012 | Kenaikan 0,2 % |
2012 – 2015 | Penurunan 2,2% |
2015 – 2017 | Kenaikan 2,9% |
Sementara itu terjadi lonjakan permohonan dispensasi pernikahan dibawah 19 tahun, dari tahun sebelumnya. Tahun 2019 sebanyak 23.700 sementara di tahun 2020 sebanyak 34.000 selama rentang bulan Januari – Juni 2020, dan sebanyak 97% permohonan dispensasi pernikahan telah dikabulkan. (sumber katadata.co.id)
Perlu dicatat, di dalam komitmen Indonesia secara internasional, khususnya lewat mekanisme Dewan HAM PBB, dalam Peninjauan Berkala Universal putaran Ke-tiga, Indonesia mendukung dua (2) buah rekomendasi untuk meningkatkan langkah untuk menghentikan Perkawinan Anak. Selanjutnya, Indonesia terikat dalam komitmennya untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) poin 5 mengenai kesetaragan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak dengan target 5.3. Terhapusnya segala praktik yang membahayakan seperti perkawinan anak.
Pemerintah pun sudah mengambil langkah lewat revisi UU No. 01 Tahun 1974, akan tetapi perubahan kebijakan tentu saja harus diikuti dengan perubahan pola pikir masyarakat yang hanya akan berhasil dengan peran pemerintah dalam mewujudkan nilai-nilai yang diamanatkan dengan aturan terkait.
Maka, atas beberapa hal mendasar diatas ini, Aliansi PKTA mengingatkan kembali kepada pemerintah untuk meningkatkan upaya penghapusan Perkawinan Anak lewat:
- Kepolisian RI untuk segera mengusut penanggujawab penyelenggara Perkawinan Anak Aisha Wedding sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, potensi terjadi praktik eksploitasi harus diusut;
- Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk melakukan pemutusan akses terhadap muatan-muatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak anak di dalam halaman website Aisha Weddings (aishaweddings.com);
- Kemen PPPA untuk meningkatkan upaya pencegahan Perkawinan Anak dengan berperspektif dorongan perlindungan anak termasuk hak anak untuk mengembangkan dirinya, terbebas dari praktik perkawinan anak;
- Kemen PPPA dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk meningkatkan upaya perlindungan data dan konten positif untuk anak, untuk promosi internet aman dari unsur eksploitasi terhadap anak
- KPPPA melakukan sinergi dengan kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial untuk memperkuat kebijakan yang memastikan perlindungan anak bisa dipenuhi.
- KPPPA melakukan inisiasi membuat gerakan sosial secara serentak dalam kurunwaktu tertentu bersama lintas Kementerian/Lembaga, CSO, Media dengan tema; #StopPerkawinanAnak#StopEkploitasiAnak
Hormat kami,
Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak
Profil Aliansi PKTA:
Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) adalah koalisi masyarakat sipil Indonesia yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan tujuan dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap anak di Indonesia. Aliansi PKTA percaya bahwa kekerasan dapat dicegah dengan kemitraan yang kuat dan upaya semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam perlindungan anak dari kekerasan.
Organisasi yang tergabung dalam Aliansi PKTA adalah: Aliansi Remaja Independen (ARI); ChildFund International di Indonesia; Ecpat Indonesia; Fatayat Nahdatul Ulama; Gugah Nurani Indonesia; HI-IDTL ; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ; ICT Watch ; JPAI – The SMERU Research Institute ; Kampus Diakonia Modern (KDM) ; MPS PP Muhammadiyah ; Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI); Plan International Indonesia ; Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Universitas Indonesia (PUSKAPA) ; Rifka Annisa ; Rutgers WPF Indonesia ; SAMIN ; SAHABAT ANAK; SEJIWA ; Setara ; SOS Village ; Wahana Visi Indonesia (WVI) ; Yayasan Pulih ; Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) ; Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) ; Youth Network on Violence Against Children (YNVAC) ; Yayasan KAKAK ; Yayasan PLATO ; Yayasan KKSP ; Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata.
Narahubung Presidium Aliansi : ChildFund International Indonesia, ICT-Watch, ICJR, Plan International Indonesia, Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Wahana Visi Indonesia
Unduh disini[1]
- disini: https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2021/02/Rilis-Bersama-Aliansi-PKTA_Perkawinan-Anak.pdf