Kasus ini bukti nyata UU SPPA tidak dijalankan dengan baik, Hak Anak tidak dilindungi, dan lebih buruk membuktikan bahwa buruknya standar proses peradilan bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati
Vonis pidana mati terhadap anak berusia 16 tahun, Yusman Telaumbanua oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Pulau Nias merupakan bentuk nyata dari buruknya peradilan pidana di Indonesia. Selain menunjukkan betapa lemahnya perlindungan bagi hak anak, putusan pidana mati ini juga menunjukkan buruknya standar proses peradilan bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati. ICJR menilai ada beberapa catatan penting yang bisa dilihat dari proses peradilan Yusman Telaumbanua.
Pertama, Untuk alasan apapun, Yusman Telaumbanua yang masih masuk usia anak, tidak dapat dihukum mati. Berdasarkan hukum Internasional, merujuk pada Pasal 37 (a) Konvensi Hak Anak dan Pasal 6 ayat (5) Konvenan Hak Sipil dan Politik, hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada anak. Dari pijakan hukum nasional, berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3 huruf (f) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, dan Pasal 64 huruf (f) UU 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seluruhnya juga menyatakan hal yang sama yaitu hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada anak.
Kedua, terjadi pelanggaran hak anak dalam proses pemeriksaan kasus Yusman Telaumbanua, berdasarkan UU SPPA ataupun karena pada saat terjadi tindak pidana masih dalam yurisdiksi UU Pengadilan Anak, Yusman Telaumbanua harusnya diperiksa dalam sidang tertutup dan khusus anak, namun berdasarkan fakta yang ditemukan, semua proses yang dihadapi Yusman Telaumbanua disamakan dengan peradilan terdakwa usia dewasa.
Ketiga, Berdasarkan Pasal 3 huruf c UU SPPA diatur ketentuan bahwa Anak berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. Apa yang dimaksud secara efektif dalam pasal ini tentu saja berkaitan dengan kualitas dari pembelaan Advokat atau Penasehat Hukum itu sendiri. Sikap Advokat dari Yusman Telaumbanua meminta kliennya untuk dihukum mati telah melanggar aturan dari UU SPPA tersebut, parahnya Hakim tidak merespon persoalan ini, bahkan Jaksa Agung HM Prasetyo mendasarkan alasan pernyataan Advokat Yusman Telaumbanua sebagai dasar tidak adanya rekayasa kasus dalam kasus tersebut.
Keempat, kasus Yusman Telaumbanua, menunjukkan bahwa Indonesia telah gagal meyakinkan publik terkait prinsip Fair Trial dalam menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terdakwa. Pada “High-Level Panel Discussion on the Question of the Death Penalty: Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges Faced in that Regard” dalam Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-28 yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2015, di Markas Besar PBB Jenewa, PTRI di Jenewa menyatakan bahwa seluruh putusan pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan prinsip Fair Trial. Putusan Yusman Telaumbanua secara total telah menghapus anggapan itu, bahwa harus disadari dan diakui peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi prinsip Fair Trial.
Untuk itu ICJR menilai bahwa Pemeritah harus merespon dengan cepat kasus Yusman Telaumbanua, lebih jauh Pemerintah harus pasang badan menjawab seluruh keraguan terkait Fair Trial di Indonesia, tentu saja jawaban tersebut tidak hanya dalam pesan-pesan kosong seperti selama ini. Untuk kasus Yusman Telaumbanua, pemerintah harus segera merespon seluruh upaya hukum, terutama upaya hukum luar biasa seperti PK dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum. Untuk seluruh kasus pidana mati, pemerintah harus segera memastikan tidak ada keraguan terkait isu Fair Trial dalam kasus-kasus yang selama ini ada.