Menteri Hukum dan HAM menyebut bahwa UU Narkotika menjadi biang kerok overcrowding dalam rutan dan lapas di Indonesia. ICJR sepakat dengan hal ini bahwa kebijakan narkotika yang memuat banyak pasal karet untuk memenjarakan pengguna narkotika menjadi penyebab utama overcrowding. Namun begitu, ICJR menilai bahwa Menteri Hukum dan HAM memiliki sejumlah kewenangan untuk segera mengatasi masalah ini, dengan mempercepat proses revisi UU Narkotika ataupun tindakan segera lain dalam kondisi saat ini.
Presiden Joko Widodo melalui Menteri Yasona Laoly harus berani mengambil tindakan-tindakan cepat dan strategis terkait kebijakan Narkotika. Hampir 7 tahun menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM mestinya tidak ada alasan kebijakan berikut tidak bisa didorong untuk diimplementasikan dengan segera.
Yang bisa dilakukan oleh Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM dengan segera saat ini:
Pertama, amnesti dan/atau grasi masal berbasis penilaian kesehatan bagi pengguna narkotika. Menteri Hukum dan HAM pada November 2019 lalu pernah memberikan gagasan untuk melakukan amnesti masal bagi pengguna narkotika, dan ICJR memberi dukungan atas langkah tersebut. ICJR memberikan catatan untuk menjamin langkah ini sejalan dengan pendekatan kesehatan yaitu harus ada tim untuk melakukan assesmen pengguna narkotika.
Karena kesalahan UU Narkotika, pengguna narkotika sering terjerat pasal penguasaan, pembelian dan kepemilikan yang harusnya hanya untuk peredaran gelap. Maka, Seluruh WBP dari kasus narkotika yang terjerat oleh pasal penguasaan, pembelian, kepemilikan dan penyalahgunaan harus dinilai kondisi penggunaan narkotikanya dan harus dikaji latarbelakang kasusnya, apabila ada indikasi penggunaan dan atau kepemilikan narkotika untuk kepentingan pribadi, maka harus segera dikeluarkan dari lapas. Pengeluaran juga bisa ditempelkan dengan kebijakan asimilasi di rumah atau lembaga di luar lapas yang sekarang kebijakannya dijalankan oleh Ditjen PAS.
Terhadap pengguna narkotika yang mengalami ketergantungan, maka harus diberikan hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman, mengedepankan pengurangan dampak buruk atau “harm reduction”. Sebagai catatan, rehabilitasi tidak musti berbasis kelembagaan dengan penempatan di lembaga, rehabilitasi bisa berbasis komunitas dan rawat jalan sesuai dengan penilaian kesehatan. Ini juga bisa menghemat biaya negara.
Kedua, pengarusutamaan penggunaan pidana bersyarat dengan masa percobaan bagi pengguna narkotika baik yang membutuhkan rehabilitasi atau tidak. Terdapat peluang alternatif ini dalam Pasal 14a dan 14c KUHP, SEMA No. 3 tahun 2015 dan Pedoman Kejaksaan No. 11/2021. Ketiga aturan tersebut menjelaskan bahwa jaksa dan hakim dapat juga memberikan tuntutan dan putusan pidana bersyarat dengan masa percobaan sehingga pidana penjara tidak perlu dijalani. Hukuman penjara bisa diubah dengan syarat pembimbingan dan pengawasan oleh Jaksa berkoodinasi dengan Bapas.
Berdasarkan KUHP, mayoritas pengguna narkotika tanpa ketergantungan dapat diberlakukan pidana bersyarat dengan syarat umum (Pasal 14a KUHP) yaitu tidak lagi melakukan tindak pidana penggunaan narkotika. Sedangkan untuk yang mengalami ketergantungan dapat diberlakukan syarat khusus perubahan perilaku yang sejalan dengan pendekatan kesehatan (Pasal 14c KUHP), hal ini juga bisa diselaraskan dengan rehabilitasi berbasis rawat jalan. Paling tidak, Presiden dan Menteri Hukum dan HAM bisa menyerukan kepada jaksa dan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung untuk segera memaksimalkan peluang ini.
Ketiga, segera revisi PP No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua PP Npo. 32 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan khusus pada materi narkotika. Pasal 34A PP ini membatasi pemberian remisi bagi WBP dari kasus narkotika yang diputus diatas 5 tahun penjara dengan sejumlah syarat yang sulit dipenuhi, seperti menjadi “justice collaborator”. Padahal, seperti yang dijelaskan sebelumnya, pengaturan karet dalam UU Narkotika mengakibatkan pengguna narkotika justru lebih sering dijerat dengan pasal yang seharusnya ditujukan hanya untuk peredaran gelap atau bandar. Menteri Hukum dan HAM dapat dengan segera mengkoordinasikan dengan Presiden untuk merevisi PP tersebut dengan fokus pada akar masalah overcrowding.
Keempat, percepat revisi UU Narkotika dengan menjamin adanya perlindungan dan pendekatan kesehatan bagi penggunaan narkotika. Cara paling tepat untuk menangani pengguna terlebih pecandu narkotika adalah dengan dekriminalisasi. Dekriminalisasi adalah penghapusan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan, dalam hal ini penggunaan dan penguasaan narkotika untuk kepentingan penggunaan pribadi. Penting untuk mendorong alternatif kebijakan narkotika Indonesia yang jauh dari watak pemenjaraan seperti ini. Sebab, dekriminalisasi ini akan menempatkan narkotika kembali ke dalam diskursus persoalan kesehatan. Hal ini akan membawa sejumlah manfaat, seperti misalnya terkendalinya tingkat penggunaan narkotika sehingga dapat mengakses layanan kesehatan serta model ini meringankan beban sistem peradilan. Dekriminalisasi juga bisa diselaraskan dengan sanksi administratif atau model lain di luar pidana.
Dengan begitu juga, Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum dapat lebih berfokus pada peredaran gelap narkotika dalam rezim kejahatan terorganisir, dan bukan malah menyasar tindakan penggunaan atau kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Kebijakan narkotika dengan pendekatan pemidanaan terutama pemenjaraan selama ini terbukti gagal, dengan begitu, perlu segera dikembalikan pada pendekatan Kesehatan.
Perlu diingat, setiap ada masalah pada Lapas, Menteri Hukum dan HAM selalu menuding overcrowding sebagai masalah utama, dan seperti telah diketahui, masalah utama overcrowding, salah satu yang terbesar terletak pada kebijakan narkotika. Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM harus segera mengkosolidasikan konsep ini kepada jajaran pemerintah mengesampingkan kepentingan sektoral institusi. Kebijakan Narkotika masalah besar, harus respon segera.
Jakarta, 10 September 2021
ICJR
CP: Maidina Rahmawati