Praktik kekerasan hingga menyebabkan tahanan meninggal dunia dalam proses penyidikan oleh aparat terus ditemukan. ICJR memandang praktik ini memang mustahil dihilangkan, jika tidak ada perubahan mendasar melalui revisi KUHAP dan UU Narkotika untuk menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan. Serta penghapusan penahanan di tempat-tempat penahanan milik penyidik. Proses pengusutan terhadap kematian tahanan tersebut juga harus dilanjutkan dengan mekanisme pidana bagi aparat pelakunya.
Beberapa hari belakangan, media kembali memberitakan temuan dugaan kekerasan oleh aparat kepolisian dari Polrestabes Makassar terhadap tersangka kasus narkotika Muhammad Arfandi Ardiansyah yang baru berusia 18 tahun setelah dilakukan penangkapan pada Minggu dini hari 15 Mei 2022. Tersangka Arfandi dinyatakan meninggal dunia keesokan harinya pada 16 Mei 2022 dan pada jenazahnya ditemukan luka memar dan lebam yang cukup serius pada sekujur badannya termasuk patah tulang di bagian tangan. Pihak kepolisian dari Kasat Narkoba Polrestabes Makassar, Kompol Doli M Tanjung, berdalih bahwa Arfandi sebelumnya mengeluhkan sesak napas kemudian dibawa ke Dokter Kesehatan (Dokkes) Polda Sulsel, namun Dokkes Polda Sulsel kemudian menyatakan tersangka telah meninggal dunia ketika dalam perjalanan. Namun, orang tua Arfandi bersaksi bahwa anaknya selama ini tidak memiliki riwayat penyakit asma atau sesak napas dan dalam kondisi sehat sewaktu dilakukan penangkapan.
Terhadap insiden kematian tersangka Arfandi tersebut, delapan anggota Sat Narkoba Polrestabes Makassar saat ini dalam proses pemeriksaan oleh Propam. ICJR menyerukan agar upaya responsif tersebut perlu ditingkatkan menjadi proses penyidikan pidana, tidak hanya berhenti pada mekanisme pemeriksaan pelanggaran etik dan berakhir dengan penjatuhan sanksi disiplin. Dalam menjalankan proses investigasi, dugaan tindakan kekerasan oleh pelaku aparat hingga mengakibatkan kematian ini harus dilihat sebagai peristiwa pidana.
Kasus kematian tahanan kepolisian ini menambah deret panjang kasus kekerasan oleh aparat selama proses penyidikan. Sebelumnya pada Maret 2022, Kapolres Lubuklinggau mengumumkan ditetapkannya 4 (empat) orang Penyidik Polsek Lubuklinggau sebagai tersangka dalam kasus kematian Hermanto, tahanan di Polsek Lubuklinggau. Pada September 2020, kematian menimpa Joko Dodi Kurniawan dan Rudi Efendi, tersangka kasus perampokan yang ditahan di Polsek Sunggal. Pada Desember 2020, kematian Herman diberitakan terjadi pada saat dirinya ditahan di Polres Balikpapan. Enam orang polisi dijadikan tersangka dalam kasus ini. Pada Januari 2021, Deki Susanto diberitakan disiksa dan ditembak ketika ditahan di kepolisian oleh seorang Bripka yang kemudian dijadikan tersangka dalam kasus kematiannya. Temuan-temuan tersebut baru beberapa contoh yang dapat dijangkau melalui pemberitaan media, sehingga tidak menutup kemungkinan masih ada kasus-kasus serupa lainnya yang terjadi selama ini luput dari pemberitaan oleh media.
ICJR memandang praktik ini memang mustahil dihilangkan, jika tidak ada perubahan mendasar melalui revisi KUHAP untuk menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan. Hal ini perlu dilakukan sebagai usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah ini yang terletak pada kewenangan kepolisian yang begitu besar untuk melakukan penahanan tanpa ada mekanisme pengawasan yang ketat, terlebih ketika kantor kepolisian juga digunakan sebagai tempat penahanan. Padahal Penjelasan Pasal 22 ayat (1) KUHAP dan Pasal 18 PP No. 27 tahun 1983 menyebutkan bahwa penahanan di kantor kepolisian hanya diperbolehkan dilakukan apabila di daerah tersebut belum terdapat Rumah Tahanan Negara. Artinya penahanan kepolisian bersifat sementara dan bukan suatu hal yang biasa.
Ketika penahanan dilakukan di kantor kepolisian, kontrol penuh terhadap tersangka ada di tangan penyidik dengan kepentingan penegakan hukum, memperoleh bukti untuk memperkuat perkaranya. Dalam kondisi seperti itu, tidak dapat dipungkiri kekerasan mulai yang dilakukan secara verbal dalam bentuk intimidasi hingga fisik, sangat rentan terjadi. Dalam perubahan KUHAP ke depan, penahanan di kantor kepolisian harus dilarang sebab dalam konteks ini akan membuka peluang terjadinya incommunicado detention, atau praktik penahanan tanpa komunikasi dengan dunia luar.
Untuk itu, otoritas yang mengelola tempat penahanan harus dipisahkan dengan otoritas yang melakukan penyidikan. Hal ini harus dijamin untuk memastikan proses check and balances dapat berjalan dalam penahanan pra persidangan. Jaminan ini harus ada dalam KUHAP untuk menghindari adanya praktik-praktik penyiksaan dan pemeriksaan di waktu-waktu yang tidak wajar, sebagaimana terjadi di dalam kasus-kasus penyiksaan yang ada saat ini.
Selama ini penahanan pun juga dilakukan oleh aparat kepolisian dengan begitu mudah, tidak ada kewajiban menghadirkan tersangka ke depan hakim, keputusan menahan/tidak menahan pasca penangkapan murni penilaian polisi. Seringkali masa penahanan dihabiskan, padahal pemeriksaan juga tidak dilakukan. Bahkan dalam surat perintah penahanan tidak ada kewajiban menguraikan alasan penahanan secara substansial. KUHAP ke depan harus diubah untuk memastikan adanya mekanisme yang mewajibkan aparat untuk menghadapkan tersangka kepada hakim segera setelah ditangkap untuk dilakukan penilaian oleh hakim mengenai perlu tidaknya dilakukan penahanan.
Selain itu, UU Narkotika juga harus dirombak, penangkapan 6×24 jam yang dapat berujung pada “incommunicado detention”, atau penahanan tanpa informasi pada pihak luar dikarenakan masa penangkapan yang begitu panjang, berbeda dengan penahanan yang harus jelas informasi di mana penahanan dilakukan, penangkapan tidak mensyaratkan informasi tempat penangkapan, hal ini yang biasanya menjadi celah penyiksaan dilakukan karena tersangka dibawa ke tempat-tempat tanpa ada informasi dan akses pada pihak luar seperti keluarga atau advokat.
Dengan melihat kegentingan revisi KUHAP dan UU Narkotika di atas untuk memperkuat sistem pengawasan oleh pengadilan terhadap kewenangan aparat yang begitu besar khususnya dalam proses penangkapan dan penahanan yang terbukti rentan disalahgunakan, ICJR kembali menyerukan agar inisiasi pembahasan perubahan KUHAP dan UU Narkotika segera dimulai di DPR. Untuk mengatasi kekerasan dan penyiksaan tahanan, semua pihak mulai dari pemerintah, DPR, Komnas HAM, lembaga-lembaga dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) juga harus menyerukan penghentian penahanan di kantor-kantor kepolisian.
Jakarta, 18 Mei 2022
Hormat Kami,
ICJR