Koalisi AG-AP yang terdiri dari kelompok individu dan jaringan masyarakat sipil penggiat hak anak dan perempuan, khususnya korban kekerasan seksual, menaruh perhatian pada kasus penganiayaan yang menimpa anak D. Kasus penganiayaan ini diduga dilakukan oleh MDS (20 tahun), AGH (15 tahun) dan S (19 tahun). Ketiganya lantas ditetapkan sebagai tersangka, salah satunya adalah AGH satu-satunya yang berusia Anak, yang kemudian sudah menjalani proses hukum, diputus bersalah pada tingkat pertama di PN dan tingkat banding di PT.
Kami menaruh perhatian terhadap proses hukum yang dijalani AGH dan narasi publik yang dihadirkan kepada AGH sejak awal kasus bergulir, yang sama sekali tidak mempertimbangkan suara dan pengalaman perempuan sekaligus sebagai seorang anak yang pada umumnya lebih rentan dan dirugikan dalam relasi seksual dengan laki-laki maupun orang dewasa. Adanya hubungan seksual antara AGH dengan D maupun MDS diekspose dan dieksploitasi sedemikian rupa dalam perkara ini, untuk menempatkan AGH dalam narasi “perempuan tidak baik”. Cara pandang yang bias (gender sterotype), mengobjektifikasi tubuh dan seksualitas perempuan, hal mana merupakan tipikal dalam masyarakat patriarkhis-misoginis termasuk di ranah system hukum. Dalam proses hukum perkara anak perempuan AG, cara pandang APH yang misoginis sangat kental sehingga “menutup mata” atas fakta-fakta yang sebenarnya terjadi seperti yang terungkap di persidangan dari keterangan AGH maupun saksi MDS dan saksi S, serta muatan CCTV yang bertolak belakang dari dakwaan Jaksa, tidak menjadi bahan pertimbangan. APH sama sekali tidak mempertimbangkan adanya relasi gender dan relasi kuasa dalam perkara ini. Dua isu penting yang harus dilihat dalam setiap perkara yang melibatkan perempuan, sebagaimana ditekankan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum (Lihat Pasal 4 dan 6).
Berikut fakta-fakta yang diabaikan:
Dalam dakwaan Jaksa yang menjadi dasar putusan hakim menyalahkan AGH sebagai pemicu emosi dan dendam saksi MDS kepada D. Padahal informasi awal datang dari saksi APA. Selain itu Jaksa dan Hakim (APH) mengekspose AGH yang telah berhubungan seksual dengan MDS sebanyak 5 kali yang semakin menguatkan framing AG “bukan perempuan yang baik”.
Konstruksi gender terkait relasi seksual di luar perkawinan, menempatkan perempuan sebagai pihak yang menanggung rasa bersalah, menganggap diri tidak berharga karena sudah tidak virgin lagi. Apalagi dalam situasi perempuan yang disalahkan karena dianggap “selingkuh” dari pacarnya. Dalam posisi ini anak perempuan akan mengalami kerentanan ganda, sebagai gender perempuan untuk dieksploitasi oleh pasangannya sebagai bukti “kepemilikan” atas perempuan, dan selanjutnya kerentanan sebagai anak untuk dimanipulasi secara seksual oleh orang dewasa atas nama relasi pacaran.
Selain itu, mengacu pada Pasal 76D, Pasal 81 ayat (2) UU No. 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 4 ayat (2) huruf c jo Pasal 15 huruf g UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perbuatan persetubuhan orang dewasa terhadap Anak adalah tindak pidana, bahkan tidak perlu adanya kekerasan ataupun ancaman kekerasan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain diganjar dengan pemidanaan, dan dianggap sebagai tindak pidana, atau yang dikenal statutory rape. Ancaman pidana sampai dengan 15 tahun penjara. Namun sayangnya, fakta hukum tersebut justru dinilai oleh Hakim sebagai bukti bahwa tidak ada trauma dialami oleh AGH, padahal seharusnya hal tersebut dilihat sebagai tindak pidana, dan potensi terjadinya manipulasi AGH oleh MDS. Perkembangan lanjutan laporan AGH terhadap kekerasan seksual ini telah diterima oleh Polisi pada 8 Mei 2023 kemarin, maka proses hukum harus dikawal termasuk pemenuhan hak AGH sebagai korban kekerasan seksual dengan mengacu pada UU TPKS.
Bahwa narasi publik yang dihadirkan kepada AGH, antara lain bahwa AGH disebutkan sebagai dalang perbuatan MDS, AGH merokok pada saat kejadian, AGH sama sekali tidak menolong D dan bahkan tenang melihat kekerasan. Hal ini adalah narasi kebencian dan witch hunting kepada Anak Perempuan, yang sayangnya dalam beberapa aspek juga mempengaruhi pemberian putusan. Dalam pembuktian unsur tindak pidana dalam dakwaan pertama tentang “turut serta melakukan perencanaan penganiyaan berat”, APH (jaksa dan hakim) memposisikan AGH seolah-olah yang berinisiatif untuk mengelabui D agar D mau menemui MDS dan dianggap turut kerjasama karena mengetahui rencana akan melakukan pemukulan. Padahal chat WA dari AGH ke D adalah instruksi dari MDS yang diakui juga oleh MDS. Selain itu AGH dinilai dengan tenang, tidak mencegah dan merokok saat dilakukan penganiayaan hingga merekam kejadian penganiayaan. APH mengabaikan keterangan AGH yang membantah tuduhan tersebut karena faktanya sebagaimana diperkuat dengan keterangan S, bahwa korban mengalami ketakutan saat penganiayaan terjadi dan meminta S untuk mencegah perbuatan MDS. Selain itu AGH tidak mengetahui persisnya apa yang akan dilakukan MDS kepada D, dan merokok ia lakukan pada saat MDS dan D mengobrol hingga D lakukan push-up. Fakta-fakta ini juga diperkuat oleh CCTV. AGH lah yang pertama mendatangi dan berupaya menolong D sebelum Satpam dan yang lainnya.
Selain itu, menyatakan Anak AGH turut serta adalah hal keliru karena tidak memenuhi kualifikasi sebuah perbuatan “turut serta” yang mensyaratkan adanya kesatuan niat untuk selesainya satu perbuatan materiil yang didakwakan. Perbuatan AGH yang hanya menghubungi D untuk mengantarkan Kartu Pelajar milik D tidak serta merta dapat diartikan sebagai perbuatan yang sejalan dengan niat melakukan penganiayaan, pun juga niat mengembalikan kartu pelajar telah AGH sampaikan kepada D atas kondisi yang berbeda, bukan terkait sama sekali dengan penganiyaan.
Bahwa dalam putusan perkara AGH, tidak mencantumkan dan mempertimbangkan Hasil Pemeriksaan Psikologi Forensik terhadap AG sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH), juga tidak mempertimbangkan Hasil laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan. Kewajiban hakim untuk mempertimbangkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan untuk perkara APB telah diatur secara tegas dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasl 60 ayat (3) UU tersebut bahkan dinyatakan bahwa “dalam hal leporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan batal demi hukum”.
Selain itu, pada putusan banding AGH, meninjau informasi dari Pihak PT DKI Jakarta, pihak PT DKI Jakarta menyatakan bahwa berkas memori banding baik dari Penasihat Hukum AGH maupun dari Penuntut Umum baru diterima secara resmi pada 26 April 2023 sore hari dan hakim banding baru ditetapkan pada hari yang sama dengan berkas diterima, namun kurang dari 24 jam hakim PT sudah menjatuhkan putusan banding, yang kemudian dibacakan pada 27 April 2023, sehingga diduga kuat hakim PT tidak mempertimbangkan memori banding yang disampaikan dan tidak memeriksa secara seksama kesalahan putusan pada tingkat pertama. Hal ini adalah catatan besar pada suatu proses kasus. Maka perlu dilakukan upaya hukum lanjutan untuk juga menguji hak ini.
Berdasarkan hal-hak tersebut diatas, maka Kami, Koalisi AG-AP merekomendasikan:
Pertama, dalam tahapan Kasasi di MA, agar MA mempertimbangkan kerentanan anak AGH dan potensi adanya grooming atau manipulasi anak oleh orang dewasa. Pertimbangan ini dapat disusun dengan mengacu bukti baru yang dilampirkan yaitu hasil pemeriksaan psikologis forensik anak AGH, laporan penelitian kemasyarakatan, dan fakta yang muncul di ruang sidang.
Kedua, agar aparat penegak hukum secara seksama dan serius memproses hukum MDS terkait dugaan kekerasan seksual terhadap anak, dengan juga menjamin pemenuhan hak korban kekerasan seksual merujuk pada UU TPKS bagi AGH
Ketiga, mendorong agar masyarakat umum dan lembaga baik negara terkait misalnya Komisi Yudisial dan Dewan Pers merespon masalah-masalah yang muncul dari kasus ini, yaitu proses hukum di pengadilan yang bermasalah dan pemberitaan di media yang tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Keempat, agar Dewan Pers segera membuat Pedoman Dalam Penulisan/peliputan berita atau kasus yang melibatkan perempuan dan anak, dan pemberitaaan kekerasan seksual, serta memberi perhatian khusus terhadap anak perempuan yang memiliki kerentanan ganda (usia dan gender), sebagai pelengkap pedoman pemberitaan anak yang telah ada (Peraturan Dewan PERS No. 1/PERATURAN-DP/II/2019)
Kelima, agar dilakukan langkah-langkah hukum untuk menindaklanjuti potensi malpraktek atau pelanggaran kode etik maupun Perma No. 3/2017 dalam proses hukum perkara AGH maupun putusan pertama dan banding
Tambahan Ringkasan Fakta-Fakta dalam Kasus AGH dapat diakses melalui link ini.
Silakan menonton siaran ulang konferensi pers pada channel Youtube ICJRid melalui link ini
Jakarta, 10 Mei 2023
Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP)