Pengaturan mengenai penyadapan telah menjad salah satu topik terhangat yang dibicarakan di kalangan komunitas hukum. Tak heran, karena penyadapan selain dipandang sebagai alat yang efektif untuk mengungkap kejahatan namun pada saat yang sama juga dipandang sebagai invasi dari Negara terhadap hak privasi warganya.
Oleh karena memiliki potensi besar untuk melanggar HAM, penyadapan harus diatur secara baik dan ketat. Setidaknya pengaturan penyadapan wajib mengandung 5 hal mendasar yaitu (1) adanya otoritas resmi yang jelas berdasarkan UU yang memberikan izin penyadapan (mencakup tujuan yang jelas dan objektif ) (2) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan (3) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan (4) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan dan pembatasan-pembatasan lainnya, dan (5) tersedianya mekanisme komplain yang efektif bagi warga negara yang merasa kebebasannya telah dilanggar oleh Negara.
Dalam konteks Indonesia, penyadapan diatur melalui beragam peraturan perundang – undangan. Pengaturannya tersebar dari level UU hingga pada level Peraturan Menteri. Tak hanya beragamnya aturan yang mengatur, namun juga mekanismenya juga sangat beragam. Selain masalah itu, jangka waktu dilakukannya penyadapan juga sangat beragam, tergantung kepada aturan mana yang mengaturnya.
Ketidaktunggalan pengaturan hukum acara penyadapan di Indonesia ini membawa dampak yang sangat serius diantaranya adalah target penyadapan tidak dapat mempertanyakan keabsahan dari prosedural penyadapan yang dikenakan pada dirinya. Selain itu, hasil dari penyadapan yang dijadikan bukti di Pengadilan sama sekali tidak bisa digugat keberadaannya, karena tidak ada kesatuan mekanisme yang mengatur secara jelas dan tegas.
Persoalan kesemrawutan ini telah coba untuk dijawab oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD 1945 yang mengamanahkan untuk membentuk satu aturan tunggal tentang mekanisme dan prosedur penyadapan yang berisi syarat – syarat; (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang- Undang untuk memberikan izin penyadapan, (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, dan (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan.
Rancangan KUHAP yang tengah di bahas di DPR juga berusaha menjawab persoalan kesemrawutan mengenai prosedur dan mekanisme penyadapan ini. Bersama – sama komponen masyarakat sipil lainnya, ICJR berupaya keras mengawal secara aktif pembahasan Rancangan KUHAP di DPR khususnya pembahasan mengenai Penyadapan dalam Rancangan KUHAP. Melalui kajian ini, ICJR berharap para pembentuk UU dapat membahas secara lebih hati – hati, terinci dan mendalam terkait dengan mekanisme dan prosedur penyadapan dalam Rancangan KUHAP.
Dalam kajian yang dilakukan oleh ICJR, ditemukan kenyataan bahwa Rancangan KUHAP justru gagal untuk memenuhi amanat yang telah diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Putusan No 5/PUU-VIII/2010 tersebut. Oleh karena itu, ICJR berpendapat bahwa semestinya Rancangan KUHAP hanya fokus untuk mengatur mengenai prinsip-prinsip, lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan menyadap, pemberian izin serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktian hasil penyadapan. Namun, elaborasi lebih lanjut terhadap ketentuan – ketentuan dalam Rancangan KUHAP tersebut mestinya diatur secara lebih rinci dan ketat dalam UU Penyadapan atau UU Anti Penyadapan
Unduh Policy Paper 1/2013 disini[1]
- disini: https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2013/12/ICJR_Policy-Paper-1_Penyadapan.pdf