Kumham Tak Bisa Sendiri Hadapi Covid-19, Sistem Peradilan Pidana Harus Terpadu

Koalisi mencatat beberapa solusi mengenai masalah penahanan di tengah kondisi pandemi. Selain itu, masalah penahanan dalam perubahan KUHAP ke depan, perlu memastikan adanya mekanisme kontrol dan pengawasan yang lebih ketat dan detail terkait penahanan, hal ini bisa dimulai dengan mamasukkan sistem hakim pemeriksaan pendahuluan (judicial scrutiny) dalam Rancangan KUHAP.

Selasa (24/3), Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly mengirimkan surat kepada Ketua MA RI, Jaksa Agung RI, serta Kapolri untuk menunda pengiriman tahanan ke rutan atau lapas sementara waktu untuk mencegah penyebaran COVID-19. Koalisi Pemantau Peradilan menilai instruksi yang disampaikan oleh Kemenkumham dalam surat tersebut masih belum jelas dan berpotensi melanggar ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP.
Menkumham menyampaikan 2 (dua) poin utama dalam surat tersebut. Pertama, Kemenkumham menunda kegiatan kunjungan, penerimaan tahanan baru, dan sidang mulai Rabu (18/3) sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kedua, Kemenkumham juga menunda pengiriman tahanan ke rutan/lapas dengan alasan tahanan merupakan kelompok yang rentan terpapar COVID-19 karena kondisi rutan/lapas yang kelebihan muatan penghuni.

Surat tersebut belum menjelaskan apakah Menkumham tetap merekomendasikan penahanan yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Apabila surat tersebut bertujuan untuk menginstruksikan agar APH tetap dapat menahan tersangka/terdakwa namun tidak dapat melakukan penahanan di rutan atau lapas di lingkungan Kemenkumham, maka hal tersebut bertentangan dengan KUHAP.

Pasal 22 KUHAP menyebutkan berbagai jenis penahanan, seperti tahanan rutan, tahanan rumah, dan tahanan kota. Dalam bagian penjelasan KUHAP, dijelaskan bahwa penahanan di rutan dapat dilakukan di tempat lain seperti kantor polisi, kantor kejaksaan negeri, maupun lapas jika belum ada rutan di wilayah tersebut. Dalam suratnya, Menkumham menginstruksikan untuk menutup akses pengiriman tahanan ke rutan atau lapas, tetapi tidak merekomendasikan agar penahanan dibatasi. Secara tidak langsung pernyataan ini memberikan kesan agar tahanan ditempatkan di kantor polisi atau kantor kejaksaan.

Menkumham memang tidak berwenangan untuk melarang atau memerintahkan penahanan karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim. Namun, Menkumham bisa memberi rekomendasi beberapa hal yang dapat dipertimbangkan oleh penegak hukum agar tidak melakukan penahanan di tengah situasi seperti ini.

Koalisi memberikan beberapa rekomendasi pada Menkumham dan APH agar penanganan tahanan di tengah pandemi COVID-19 dapat dijalankan sesuai dengan ketentuan KUHAP dengan tetap mengutamakan keselamatan para tahanan.

Pertama, Dalam melakukan penahanan, APH perlu memperhatikan ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih. Selain itu, APH perlu memastikan bahwa penahanan memenuhi syarat jika ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Penahanan harus dilakukan dengan selektif, jika tersangka/terdakwa tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ia tidak perlu ditahan.

Kedua, Penahanan tidak perlu dilakukan terhadap pelaku tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan tindak pidana yang tidak melibatkan kekerasan. APH dapat memanfaatkan semaksimal mungkin mekanisme penahanan alternatif, misalnya mekanisme jaminan dalam KUHAP yang memperbolehkan tersangka/terdakwa tidak perlu ditahan.

Ketiga, Untuk tahanan yang harus ditahan karena memenuhi syarat Pasal 21 ayat (4) KUHAP, opsi selain penahanan rutan harus dimaksimalkan sebisa mungkin. Pasal 22 KUHAP memberikan opsi tahanan rumah dan tahanan kota, yang memungkinkan tahanan tidak ditempatkan di dalam rutan, maupun tempat penahanan kepolisian, atau kejaksaan yang kami nilai sama-sama memiliki risiko terhadap penyebaran COVID-19. Penahanan rumah dan kota dapat diberikan dengan mempertimbangkan tempat tinggal yang jelas dan pekerjaan sehari-hari yang tidak memungkinkan seseorang meninggalkan kota tempat tinggalnya. Dalam situasi ini, proses hukum tetap berjalan dan putusan berupa penjara bisa dilaksanakan setelah pandemi usai.

Keempat, APH harus memaksimalkan penggunaan mekanisme penangguhan penahanan maupun pembantaran untuk mereka yang membutuhkan perawatan dan pendampingan medis. Selain itu, dibutuhkan adanya mekanisme rujukan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk melakukan isolasi, karantina, atau tindakan medis lainnya bagi tahanan yang terdampak.

Kelima, dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi seperti: tidak adanya kemungkinan menghilangkan barang bukti karena sudah diperiksa maupun sudah disita sejak awal pemeriksaan; tidak adanya kemungkinan melarikan diri karena memiliki pekerjaan sehari-hari atau tempat tinggal tetap; atau melakukan tindak pidana-tindak pidana yang memungkinkan penahanan tidak dilakukan sebagaimana disampaikan di atas, tahanan yang sudah habis masa tahanannya harus segera dikeluarkan dan tidak diperpanjang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah penghuni yang ada sehingga pencegahan COVID-19 dapat dilakukan dengan efektif sesuai dengan kemampuan rutan atau lapas.

Keenam, perlu adanya pengelolaan mitigasi dan edukasi yang komprehensif pada petugas rutan dan lapas untuk menghadapi situasi darurat seperti pandemi COVID-19 di masa yang akan datang. Penyusunan manajemen mitigasi dan materi edukasi ini bisa melibatkan lintas sektor termasuk sektor penanggulangan bencana, kesehatan, sosial, dan lainnya.

Terakhir, Koalisi menilai bahwa Pemerintah perlu memastikan ada aturan pelaksana dan juga aturan turunan dari KUHP yang lebih detail untuk mengantisipasi situasi seperti ini. Koalisi menyadari sistem penahanan di Indonesia masih membutuhkan aturan mengenai sistem jaminan, pengawasan alternatif penahanan dan lainnya, untuk itu Pemerintah perlu memastikan adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi yang lebih ketat dan detail terkait penahanan, hal ini bisa dimulai dengan memasukkan sistem hakim pemeriksaan pendahuluan (judicial scrutiny) dalam Rancangan KUHAP.

Akan tetapi mengingat keadaan mendesak, sebagai langkah darurat mencegah meluasnya pandemi COVID-19 di lapas dan rutan, Koalisi meminta Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menerbitkan Peraturan Bersama terkait pengetatan penggunaan kewenangan penahanan.

 

Hormat Kami,
Koalisi Pemantau Peradilan.

ICJR, YLBHI, PKBI, IJRS, PUSKAPA, LBH Masyarakat, ELSAM, PBHI, Institut Perempuan, KontraS, Rumah Cemara, LeIP, LBH Pers, ICEL, IMPARSIAL, LBH Jakarta


Tags assigned to this article:
COVID 19hukum pidanaKUHAPpemasyarakatan

Related Articles

Aliansi Nasional Reformasi KUHP Pertanyakan Kebijakan Kodifikasi dalam Rancangan KUHP

Pemerintah didesak untuk menarik seluruh tindak pidana di luar KUHP kedalam Rancangan KUHP Aliansi Nasional Reformasi KUHP, meminta pemerintahan Jokowi

The “lex superior derogat legi inferiori” principle must be used, all regional regulations must comply with KUHP

There are many violations under regional regulations (Perda) in terms of criminal sanctions, due to weak oversight from the Ministry

ICJR Kirimkan Amicus Curiae untuk Kasus M.Asrul, Jurnalis yang Dikriminalisasi di Pengadilan Negeri Palopo

Senin, 26 Juli 2021, ICJR kembali mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) terhadap kasus kriminalisasi yang menimpa jurnalis atau wartawan. Wartawan

Verified by MonsterInsights