ICJR melanjutkan kampanye pembaharuan peradilan pidana di Indonesia dengan mengadakan Diskusi Publik bekerja sama dengan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan HIMAPI (Himpunan Mahasiswa Pidana) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) dengan tema “Reformasi hukum acara dengan pembaharuan KUHAP : Praperadilan VS Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP)” (13/11/2013) di Kampus FH Unpad Bandung. Diskusi ini bertujuan melihat mekanisme komplain terhadap upaya paksa mana yang paling tepat diberlakukan dalam hukum acara pidana di Indonesia.
Anggara , Ketua Badan Pengurus ICJR, yang memulai pemaparan dengan menyebutkan bahwa saat ini berdasarkan laporan PBB di tahun 2008, persoalan penahan merupakan hal yang paling disorot di Indonesia. Persoalan Overcapacity sampai dengan fasilitas dan administratif Rutan yang semrawut, salah satunya disebabkan oleh masalah indikator penahanan yang tidak jelas karena dianggap kewenangan mutlak dari penyidik Hal tersebut diperburuk dengan tidak berjalan baiknya Praperadilan sebagai makanisme komplain terhadap upaya paksa penahanan pra-persidangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Menyoroti Rancangan KUHAP (RKUHAP), Anggara menyebutkan bahwa apabila bandingannya adalah KUHAP saat ini maka HPP dalam RKUHAP bisa jadi langkah maju bagi perlindungan Hak Asasi Manusia. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Agus Takariawan, Pengajar Hukum Acara Pidana sekaligus Kepala Jurusan Hukum Acara FH Unpad, menurutnya, RKUHAP secara umum memiliki nilai yang lebih baik dari KUHAP yang saat ini, terutama penghargaan HAM lebih baik.
Hampir semua pembicara memaparkan kelemahan dari konsep HPP yang diatur dalam RKUHAP, Destri dari LBH Bandung menyebutkan setidaknya ada 2 masalah besar dari pengaktifan HPP yaitu terkait perombakan sistem praperadilan dan pembentukan lembaga baru yan mana terkait SDM dan Sarana/prasarananya.Lebih substansif, Anggara menyebutkan bahwa permasalahan terbesar HPP adalah konsep ini seakan-akan hanya berganti jubah dari konsep lama Praperadilan, disebabkan masih ditemukannya peluang bersifat Post Factum dan pemeriksaan secara administratif belaka.
Titik tolak perlindungan HAM yang mesti jadi dasar utama pembentukan KUHAP baru mengakibtkan memang tidak ada pilihan lain selain mengganti mekanisme komplain bertajuk Praperadilan yang selama ini dianggap tidak efektif, bayang-bayang konsep HPP yang menyisahkan banyak tantangan di depan menyambut Anggara untuk beropini bahwa perlindungan HAM memanglah mahal namun hal tersebut bukan menjadi alasan untuk kemudian tidak dijalankan, tegasnya.
Dilain sisi, Agus Takariawan yang sebelumnya memaparkan bahwa HPP juga akan menghadapi persoalan yang sama dengan praperadilan terkait rutinitas dan tingginya jumlah penahanan menganggap Praperadilan masih efektif, hanya kewenangannya yang perlu untuk diperluas. Namun dirinya menyebutkan bahwa dibandingkan dengan Praperadilan dirinya lebih condong ke Konsep HPP, seru Pangajar Hukum Pidana FH Unpad ini mantap. (Erasmus/ICJR)