ICJR mendorong aparat penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memastikan bahwa orang tua atau ahli waris korban memperoleh restitusi dan pendampingan. Skema jaminan perlindungan termasuk hak atas bantuan medis yang lebih baik untuk kasus kekerasan seksual dapat meniru mekanisme dalam UU Terorisme yang didorong ICJR di RUU Terorisme.
Lagi-lagi publik dikejutkan dengan kasus meninggalnya anak siswi SMK pasca menjadi korban perkosaan oleh 8 pemuda. ICJR sangat prihatin dengan tragedi ini dan mengucapkan turut berduka cita kepada keluarga yang ditinggalkan serta meminta aprat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Lewat kasus ini, ICJR kembali menyerukan kepada Pemerintah selaku pembentuk kebijakan untuk memperhatikan dengan serius kebijkan tentang Perlindungan Korban, khususnya korban kekerasan seksual. Kasus ini menjadi cermin bahwa perlindungan korban yang selama ini ada belum mampu menjamin rasa aman korban, pendampingan korban perkosaan belum memadai, baik pendampingan hukum maupun pendampingan medis dan psikologis.
ICJR mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 2 PP No 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana, bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak untuk mendapatkan restitusi. Restitusi tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP No 43 tahun 2017 jo Pasal 7A ayat (6) UU No 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam hal korban meninggal dunia restitusi diberikan kepada ahli warisnya. ICJR mendorong aparat penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memastikan bahwa orang tua atau ahli waris korban memperoleh restitusi tersebut. Sehingga, pendampingan saat ini perlu diberikan kepada keluarga korban.
ICJR mencatat, respon yang diberikan negara selama ini dalam permasalahan kekerasan seksual hanya difokuskan hukuman kepada pelaku, dengan munculnya berbagai jenis hukuman baru yang lebih berat seperti dalam revisi kedua UU Perlindungan Anak yang mengakomodir kebiri kimia sebagai tindakan bagi pelaku dan pidana yang berat sampai dengan pidana mati. Tidak ada poin terkait dengan hak korban untuk mendapatkan kemudahan dalam melaporkan kasusnya termasuk jaminan korban mendapatkan pendampingan, dan hak restitusi. Padahal hal ini mutlak perlu diperhatikan. Kasus di Bogor ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada Maret 2017, anak korban perkosaan di Kabupaten Bandung bunuh diri akibat depresi, pada Juli 2017 anak korban perkosaan di Lampung Tengah juga berusaha melakukan bunuh diri setelah diperkosa, pada Mei 2016 anak korban perkosaan di Medan memutuskan bunuh diri setelah disuruh berdamai oleh polisi pada saat melaporkan kasusnya, pada Januari 2018 lalu anak korban perkosaan di Tambun Selatan mengakhiri hidupnya dengan meminum cairan sabun pencuci piring.
Pemerintah harusnya sadar bahwa penanganan kekerasan seksual tidak selesai hanya sampai dengan menghukum pelaku seberat-beratnya. Hak korban dan keberlangsungan hidup korban jelas hal yang lebih penting untuk diperhatikan. Perlu diperhatikan bahwa kekerasan seksual memiliki karakteristik yang berbeda, kejahatan ini kerap mendapat tendensi negatif dari masyarakat karena selalu dikait-kaitkan dengan permasalahan moral. 96% korban kekerasan seksual tidak ingin melaporkan kasusnya, korban dan keluarga korban kerap mendapatkan intimidasi ketika memproses kasusnya dan proses pembuktian sulit untuk dilakukan dan kerap menimbulkan stigmatisasi kepada korban yang menimbulkan viktimisasi ganda. Sehingga menjadi penting untuk menjamin perlindungan korban dengan atau tanpa adanya proses hukum kepada pelaku.
Skema jaminan perlindungan termasuk hak atas bantuan medis dan kompensasi yang lebih baik pernah didorong ICJR untuk masuk dalam tindak pidana Terorisme. Bantuan psikologis dan restitusi untuk kasus kekerasan seksual dapat mengadopsi pengaturan pada UU Terorisme yang baru disahkan pada 25 Mei 2018 lalu, bahwa bantuan medis kepada korban dilakukan setelah terjadinya kejadian (Pasal 35B ayat (2)), dalam hal pelaku tidak dapat ditemukan dan ataupun putusan bebas, korban juga berhak mendapatkan kompensasi yang dibebankan kepada negara. (Pasal 36 ayat (8) dan ayat (9), Setiap korban kekerasan seksual yang tidak atau belum memproses secara hukum kasusnya juga berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis melalui LPSK (sesuai dengan Pasal 43L ayat (1). Dengan demikian negara memiliki peran nyata dalam perlindungan korban, tidak hanya berfokus pada hukuman berat bagi pelaku.
Atas hal tersebut, ICJR meminta kepada Pemerintah lewat jajaran kepolisian dan LPSK untuk:
- Menjamin keluarga korban perkosaan di Bogor mendapatkan pendampingan yang memadai selama proses hukum
- Menjamin dan membantu keluarga korban sebagai ahli waris korban untuk mendapatkan hak atas restitusi
- Memaksimalkan peran LPSK dalam perlindungan korban kekerasan seksual yang tidak memproses hukum kasusnya
- Menjamin setiap korban kekerasan seksual mendapatkan bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis dengan atau tanpa memproses hukum kasus yang dialaminya
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut